bag. 1; jagoan ayah

373 43 4
                                    

Usapan pelan di pipi berisi milik si pemuda Nawasena agaknya sedikit mengganggu tidur nyenyaknya. Juga cahaya matahari yang mulai menerpa wajahnya. Lail bergerak pelan, dahinya berkerut merasakan cahaya matahari mulai mengusiknya.

"Hei . . . jagoan, ayo bangun."

Lail membuka matanya perlahan ketika selimut tebalnya ditarik pelan, merasakan dingin menyapa tubuhnya yang terbalut piyama satin berwarna coklat tua. Dengan tingkat kemalasan yang amat tinggi, pemuda itu mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya. Mengucek kedua matanya yang rasanya masih lengket dan sulit diajak bekerja sama.

Tangannya menjulur mengambil sebuah benda kecil berwarna putih, seukuran earphone di nakas, dan memasangnya di telinga kanannya.

Pemandangan pertama yang ia lihat membuatnya menghembuskan napas pelan. Wajah cerah pria yang sudah berbalut kemeja yang lengannya digulung sebatas siku, dengan sebelah alis yang diangkat juga senyum tipis yang terkesan menahan gemas.

"Masih ngantuk, Yah," adunya. Masih tak terima agenda tidurnya selesai begitu pagi. Padahal jam di atas meja belajarnya sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi.

"Kalau kamu ngga bangun sekarang, ayah ngga tanggung jawab kamu telat di hari pertama kamu."

Pria yang masih terlihat tampan di usianya yang sudah hampir menyentuh kepala empat itu kembali menampakan senyum manisnya. Haidan kadang kali menahan gemas karena putra semata wayangnya terlihat begitu menggemaskan ketika bangun tidur.

Tapi jika ia dengan agresif menguyel pipi yang terlihat begitu lucu itu, sudah dipastikan putranya akan merajuk sepanjang perjalanan mereka menuju sekolah seperti yang sudah-sudah.

Lail kerap kali memprotes sikap sang ayah yang masih suka menganggapnya anak kecil yang baru masuk SD, padahal kenyataannya ia sudah masuk SMA.

"Aku udah besar, Ayah!" kalimat andalan Lail ketika Haidan tak henti menguyel pipinya bahkan ketika mereka sudah sampai di sekolah.

"Ayo jagoan, cepet mandi. Hari pertama harus kasih first impresion yang bagus, dong."

"Ngga usah berangkat sekolah aja gimana, Yah?"

Haidan bersedakap dada lantas mengangkat dagu menantang. Lail menghela napas kesal lalu bergerak turun dari kasur tebal dan hangatnya.

"Iya, Captain, ini mau mandi."

"Gitu dong, kan tambah ganteng. Ayah tunggu di bawah ya, sarapan dulu."

"Hem."

🍁

"Gantengnya anak SMA."

Lail mendudukkan diri di depan sang ayah, mengambil sendok dan mulai memakan sarapan berupa nasi goreng dan telur mata sapi kesukaannya. Matanya mengedar di dapur, mencari keberadaan si pembuat nasi goreng yang ia cap paling enak dan tidak ada tandingannya.

"Budhe An, mana?"

"Ke pasar, beli cumi-cumi. Katanya anak ganteng mau makan cumi-cumi bakar," ucap Haidan sambil tersenyum pada si anak ganteng yang tadi ia maksud.

Lail mengangguk mengerti, lalu kembali menyuapkan nasi gorengnya ke mulut. Dibuatnya raut wajah seperti sehabis memakan makanan paling enak sedunia. Tapi benar sih, kalau diminta membuat daftar makanan terenak sedunia, nasi goreng buatan Budhe An harus masuk setidaknya di urutan sepuluh teratas.

"Kok kayak sedih gitu?"

Lail yang baru saja menghabiskan sarapannya mendongak. Diperlihatkannya pada Haidan senyum manis andalannya ketika sang ayah memprotes raut wajahnya.

"Ngga seneng ya pindah sekolah?"

"Seneng ayaaaah. Cuma aku males aja harus kenalan lagi sama orang baru. Kan kemarin aja tiga bulan belum ada masuk SMA."

Haidan memasang wajah menyesal.
"Maaf ya, gara-gara kerjaan ayah kamu jadi ikutan pindah sekolah."

"Engga papa, Yah."

"Soalnya ayah ngga tega, masa ninggalin jagoan ayah sendirian, mana jauh lagi."

"Ini masih satu kota loh, Yah."

"Ya tetep aja, ntar anak kecil kenapa-kenapa gimana? Budhe An aja ikutan pindah masa kamu engga?"

"Anak kecil ayah tuh udah SMA loh omong-omong."

Haidan menggeleng tak terima lalu menjulurkan selembar tisu pada Lail agar pemuda itu membersihkan bibirnya yang berminyak.

"Engga ah, masih kecil gitu. Kamu kayanya kalau sama temen-temenmu paling pendek, deh, Dek."

"Yaaaah, yang bener aja? Ayah kali tuh pendek," bela Lail tak terima.

"Loh kok jadi ngeledek ayah gitu."

Lail menjulurkan lidahnya mengejek. Keduanya tertawa lepas. Haidan melirik jam tangannya, sudah pukul tujuh lebih. Sekolah Lail masuk pukul setengah delapan dan jika tidak berangkat sekarang, anak itu akan terlambat.

"Dah yuk, berangkat."

🍁

Lail menghembuskan napas panjang ketika wali kelas barunya mempersilahkannya masuk ke dalam kelas dan memintanya memperkenalkan diri. Ditatapnya seisi kelas yang terasa amat baru untuknya.

Lail meremas celananya, merasakan apa yang beberapa bulan ia rasakan ketika pertama masuk ke SMA. Ia tidak suka ketika ia jadi pusat perhatian dan semua mata menatap ke arahnya.

"Lail, jagoan ayah, jangan takut sama orang-orang baru, ya. Semuanya akan baik-baik aja, percaya sama ayah."

Perkataan ayah sebelum ia turun dari mobil terlintas di benaknya. Lalu dengan mantap, dibukanya mulut untuk memperkenalkan diri.

"Nama gue Manendra Lail Nawasena. Panggil aja Lail."

Singkat.

Seisi kelas menganggukkan kepala. Banyak sekali reaksi yang Lail saksikan. Mulai dari yang terlihat tidak perduli, tertarik, bahkan menatapnya dengan tatapan memuja entah karena apa. Ya Lail akui sih, dia tampan.

"Baik, Lail. Kamu duduk di bangku paling belakang ngga apa-apa, ya? Di sana, di samping Jean."

"Iya, Bu. Terima kasih."

🍁

"J. E. A. N."

Kedua mata Lail melebar kala teman sebangku barunya menggerakan jarinya tanpa mengeluarkan suara untuk memperkenalkan diri.

"Lail."

Jean tersenyum lalu kembali menelungkukan kepalanya ke lipatan tangannya di meja. Lail masih menatap laki-laki itu.

🍁

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang