bag 18; rumah sakit

193 29 0
                                    

Lail baru sadar bahwa Andrea dan keluarganya adalah umat kristiani ketika ia mendongak ke dinding di ruang keluarga, dan menemukan sebuah salib terpajang disana. Lail terdiam sejenak, sebelum pergi untuk mengambil wudhu.

Di cerita Andrea tentang masa lalu, ia pernah bilang bahwa ia mengenal Ibu Yusna dari sebuah acara pengajian, dan Lail terkejut mendengar fakta yang baru ia dengar. Lalu, Andrea menjelaskan bahwa ia masuk ke agama yang dianut suaminya setelah menikah.

Lail menjalankan ibadahnya di kamar
tamu, dengan sebuah kain yang dilipat sebagai sajadah. Selesai solat, ia tak langsung keluar. Ia merenung sejenak, tentang banyak hal.

Ia bertemu ibu kandungnya setelah bertahun-tahun ia hidup, menyapa hangat yang telah lama ia harap, dan fakta yang sejujurnya masih sulit ia terima.

Tapi, ia tak punya kuasa apapun atas keyakinan Andrea. Ia mencoba menerima perbedaan itu dan berdamai sesegera mungkin.

Ia keluar dari kamar tamu dan melihat Andrea tengah membaca sebuah buku, Lail mengernyit melihatnya. Dan saat ia semakin dekat, ia tahu Andrea tengah membaca Bible.

Lail duduk di sebelah Andrea, membuat Andrea sontak menutup kitabnya dan menatap Lail.

"Lanjutin aja, Ma," kata Lail.

"Udah kok, Lail mau makan lagi?"

"Masih kenyang, Ma. Raya sama Rian dimana, Ma?"

"Oh...mereka ada les Bahasa Inggris hari ini. Tadi mama titipin ke temen mama."

Lail mengangguk mengerti. Beberapa menit setelahnya, ruangan itu diisi hening yang tak nyaman. Lail bingung harus bicara apa lagi, padahal sebelumya ada banyak sekali hal yang ingin ia bicarakan dengan Andrea.

"Ehm...Lail mau nginep?"

Lail mendongak, menatap ke dalam mata yang berbinar itu. Ada tenang yang ia dapat, tapi ada gelisah yang menyelinap. Lail tidak mengerti.

Seketika, ia teringat ayah.

🍁

Haidan berdiri di depan Rumah Sakit Nawasena. Rumah Sakit milik keluarganya yang berdiri megah. Ia jarang sekali mengunjungi tempat ini, selain karena ia tak terlalu suka suasana rumah sakit, tempat ini menyisakan sedikit luka padanya di masa muda.

Beberapa jam lalu, Nilam mengirim pesan bahwa ia ingin bertemu di tempat ini. Haidan heran kenapa harus rumah sakit ini, padahal ada banyak tempat lain yang bisa ia pilih.

Nilam sudah tahu milik siapa rumah sakit ini. Sebelum mereka berpisah, Haidan sudah menceritakan semua hal tentangnya dan masa lalunya. Ia juga mengatakan pada Nilam tentang latar belakang keluarganya. Dan wanita itu sudah tentu mengerti bahwa tempat ini berhubungan erat dengannya.

Haidan membaca lagi pesan terakhir yang Nilam kirim, wanita itu menunggu di taman belakang tempat biasa pasien inap berjemur dan menghabiskan waktu mereka selama pengobatan. Dulu, ia sering kesana untuk ikut membacakan cerita pada pasien anak-anak yang antusias berkumpul di pagi hari.

Pria itu melangkahkan kakinya ke area taman, meyakinkan hatinya sekali lagi.

Seorang wanita duduk di salah satu bangku di taman itu. Tubuhnya kurus, surai legamnya diikat ke belakang. Sebuah dress berwarna biru muda membalut tubuhnya dengan anggun juga dengan sebuah kardigan putih yang dipakainya.

Nilam masih terlihat begitu menawan walau Haidan sudah lama tak melihatnya.

"Nilam?"

Wanita itu menoleh ke arah kanan, lantas dengan perlahan bangkit dari bangku dan menatap Haidan. Beberapa menit, tak ada yang bicara, hanya ada netra yang berkaca menatap satu sama lain. Haidan temukan lagi kedua mata yang pernah jadi dunianya, wajah yang jadi pemandangan kesukaannya, wanita yang pernah jadi miliknya.

Cantik. Wanita itu selalu cantik.

"Ah, maaf. Duduk, Dan."

Nilam yang pertama memutus kontak, sementara Haidan mengangguk pelan dan duduk di sebelah Nilam. Menyisakan beberapa jengkal jarak dari Nilam.

"Eum...maaf ya ngajak ketemu disini, anakku sakit kemarin jadi aku bawa kesini," ucapnya lembut.

"A-anak?"

Nilam mengangguk sambil tersenyum.

"Iya, kayanya dia kaget sama cuaca disini."

Haidan mengangguk pelan. Ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan.

"Haidan...apa kabar?"

"Baik...kamu?"

Nilam tersenyum tipis lalu menunduk. "Baik..."

"Tujuan aku mau ketemu kamu...aku mau minta maaf."

"Untuk?"

"Semuanya yang bikin kamu sakit hati, tapi yang paling bikin aku merasa bersalah karena aku ngga pernah balas pesan kamu.

Aku tahu sejak aku pergi, kamu masih sering ngirim pesan dan telepon ke aku. Tapi maaf Haidan...aku ngga punya keberanian buat bales itu. Aku takut kalau aku terus berhubungan sama kamu, akan lebih sakit rasanya."

Hari itu waktu berjalan begitu lambat. Suasananya tak seburuk yang Haidan bayangkan. Ia larut dalam perbincangan bersama Nilam. Hingga keduanya tak sadar semburat oranye mulai terlihat di angkasa.

Dering dari ponsel Haidan menghentikan sejenak perbincangan seputar London dan isinya. Pria itu mengangkat panggilan dari Lail.

"Halo?"

"Yah, jemput Lail, ya."

"Kamu ngga jadi nginep?"

"Engga, kalau ayah ngga bisa aku telpon kakek aja."

"Bisa sayang, tunggu sebentar, ya."

Nilam mendengarkan dengan saksama. Bibirnya tertarik perlahan ke atas.

"Lail, ya?"

Haidan tersenyum sembari mengangguk.

"Lail udah kelas berapa, Dan?"

"Masuk kelas sebelas."

"Udah SMA? Cepet banget gedenya."

"Haha iya, ngga kerasa, kan?

Selama itu juga kamu pergi, Lam."




































Just a little update🍁

Maaf ya temen-temen yang nungguin aku update, ada alasan pribadi kenapa aku lama banget buat update lagi. I have to peace my mind this past two weeks, a lot of things happen.

I have a hard time, but I'm better now. Thank you everyone for waiting and appreciating my work so far.
See u on next update!

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang