; haidan nawasena, 2016

136 20 0
                                    

Hai Nilam, sayang

Aku tidak tahu apa aku masih pantas menyebutmu begitu setelah kita sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Aku juga tidak tahu apakah sekarang gadisku telah menjadi milik pria lain, tentunya aku selalu berharap jika memang kamu sudah menjadi milik seseorang, pria itu adalah pria yang menyayangimu lebih dariku.

Sudah dua tahun sejak aku mengantarmu di bandara pagi itu. Sudah dua tahun aku hidup dengan sayup suaramu yang masih kerap terdengar mengomeliku karena terlambat menjemput Lail, sosokmu yang kadang kala hadir di malam-malam yang dinginnya mendekapku.

Selama dua tahun itu pula tak lagi aku dapat kabar tentangmu. Tak ada satu pun panggilanku yang terjawab, pun pesan-pesan yang dua tahun ini masih rajin kukirim walau tak ada balasan.

Aku tidak tahu bahwa rindu bisa semenyakitkan ini. Sebab aku tidak tahu harus bertanya pada siapa, harus mencari kabarmu dengan cara apa.

Nilam sayangku, aku rindu.

Lail sudah mulai terbiasa tanpa kamu yang dulu rajin mengajaknya bermain atau menemaninya belajar. Oh ya, sudah dua tahun kami pindah ke Jakarta. Sekarang kami tinggal di rumah mewah yang eyang berikan padaku, jauh lebih luas dari kontrakan kecil yang dulu aku sewa di Malang. Aku kembali pada kehidupan mudaku, tapi sialnya aku malah merindukan hari-hariku di kontrakan sederhana yang kutempati hanya dengan Lail. Tanpa asisten rumah tangga dan supir pribadi yang kini dengan setia melayaniku dan Lail.

Jika kamu bertanya tentang Lail, yang dulu katamu lebih kamu sayang dibanding aku, ia hidup dengan baik. Ia bertumbuh tinggi sangat cepat, wajahnya semakin tampan, kata Janu dia makin mirip denganku.

Lail menjadi sedikit pendiam sejak pindah ke Jakarta, mungkin karena ia belum terbiasa. Aku semakin sibuk dengan firma arsitektur yang aku dirikan bersama Adji dan Janu. Iya, kami berhasil mewujudkan obrolan acak di angkringan dulu, kamu yang paling bersemangat mencarikan nama, padahal kami bertiga membicarakannya sambil bercanda.

Manendra

Aku menamai firma itu dengan nama yang kamu sarankan. Katamu, kamu sangat menyukai nama depan Lail. Setiap kali melihat nama itu terpajang begitu menawannya di depan gedung kantor, aku selalu ingat wajahmu yang antusias menyarankan nama itu.

Dua tahun ini aku menyibukan diri dengan segala hal. Aku melebarkan relasi kemana-mana, pergi ke banyak pertemuan di luar kota, melakukan hobiku saat masih muda. Saat hidup di Malang, aku sudah tak pernah lagi berkuda dan bermain golf, tapi hari ini aku kembali menyibukkan diri dengan hobi itu di akhir pekan.

Akhir-akhir ini aku sedikit merasa bersalah.

Lail sering bertanya kenapa ayahnya harus kerja hingga larut malam. Anak itu mirip sepertiku saat masih muda. Gengsinya sedikit tinggi untuk bilang bahwa ia sedih karena aku sering pulang larut malam dan tidak ada waktu menemaninya belajar atau mengajaknya pergi keluar.

Kemarin aku meluangkan waktu untuk menjemputnya di sekolah. Ia senang bukan main, lalu mengajakku untuk pergi ke taman bermain. Setelahnya, kita pergi ke toko buku untuk membeli kanvas dan cat akrilik. Lail semakin mahir melukis.

Oh iya, dia sempat melukis seorang wanita. Aku tidak terlalu bisa mengenali wajahnya, tapi untuk ukuran anak sebelas tahun itu adalah lukisan yang sangat cantik.

Hari ini, ketika aku masuk ke kamarnya untuk menata mainan (oleh-oleh dari papa yang baru pulang dari Singapur) aku menengok lukisan wanita itu lagi.

Ada sebuah kalung berbentuk sepasang sayap menggantung di leher jenjang itu, dan aku baru sadar siapa sosok wanita yang Lail lukis.

Di bagian kanan bawah lukisan itu, ada sisipan sebuah tulisan dengan tulisan khas anak sekolah dasar yang cukup rapi.

Kak Nilam

Nilam, bukan cuma aku yang merindukanmu.

Nilam, bukan cuma aku yang merindukanmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, Mei 2016

salam rindu,
Haidan Nawasena

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang