bag 13; masih tentang malang

132 28 6
                                    

Malang lebih dingin dari malam di Jakarta, tapi Lail selalu suka. Ia selalu suka bagaimana Malang memeluknya dalam udara dingin tapi anehnya terasa hangat di hati. Mungkin karena kota ini pemilik banyak 'pertama kali' miliknya. Pertama kali ia menyapa bumi, merasakan tanah menggelitik kaki, bertemu teman sebaya di bangku sekolah, dan banyak momen 'pertama kali' lainnya.

Saat ini, Lail dan keempat temannya bersama Haidan tentunya berada di Pantai Pasang. Perjalanan kesini bisa dibilang sangat jauh dari villa milik Haidan, tapi semuanya terbayarkan saat mereka sampai di pantai itu.

Tadinya Haidan menawarkan Lail dan yang lain pergi ke tempat lain, bukan wisata alam, tapi mereka serentak menolak karena sudah muak dengan hiruk pikuk kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tadinya Haidan menawarkan Lail dan yang lain pergi ke tempat lain, bukan wisata alam, tapi mereka serentak menolak karena sudah muak dengan hiruk pikuk kota. Jadi wisata alam jadi pilihan yang tepat.

"BEACH IM COMING!"

Jean jadi orang pertama yang berlari ke arah pantai. Disusul dengan Rayyan dan Adam yang ikut berlari. Sementara Lail dan Awan berjalan santai bersama Haidan di belakang.

"Belum juga semenit dah basah-basahan lo mah!" sungut Rayyan pada Jean yang sudah masuk ke dalam air, menenggelamkan kakinya ke air pantai yang dingin.

"Daripada pose kayak model disitu mending lu nyebur!" balas Jean, lantas menarik Rayyan untuk bergabung bersamanya dan Adam.

"IL! AWAN SINI!"

Lail terkekeh pelan, lantas ikut menyeburkan diri ke air. Haidan hanya melihat, enggan ikut basah-basahan dan membiarkan anak-anak remaja itu menghabiskan waktu dengan baik.

"YAH, SINI!" Teriak Lail.

"Ngga ah, ayah sini aja liatin kalian," jawabnya sambil tersenyum lebar.

Haidan duduk di pasir pantai, menggulung celana bahannya sebatas lutut dan menumpukan kedua tangannya di lutut. Angin pantai dengan sopan menyapa wajahnya, mengacak surainya dengan perlahan.

Ia menatap kelima remaja SMA yang tertawa di tengah debur ombak pantai, saling menyiratkan air ke wajah masing-masing. Haidan tersenyum teduh, ah anak-anak itu sekarang pasti tengah berpikir permasalahan terbesar mereka adalah mau makan apa setelah berenang. Dan Haidan ikut tertawa memikirkannya.

Ia pernah berada di posisi itu, dulu sekali ketika ia masih menjadi si anak bungsu keluarga Nawasena yang dimanjakan dengan segala kemewahan.

Hidup bertahun-tahun jauh dari orang tuanya, menahan luka sebab sang ayah pernah tak mengakuinya sebagai anak, bertahan hidup dengan pikiran penuh harus makan apa besok pagi dengan selembar uang dua puluh ribu di dompet.

Haidan tidak pernah berpikir hidupnya yang serba ada dan tidak pernah merasa susah berubah menjadi hidup yang berat dan serba prihatin, lalu setelah semua hal yang rasa-rasanya membua bahunya hampir patah itu ia duduk disini. Dengan segala hal yang telah ia capai, dengan kemampuan dan tekadnya sendiri tanpa canpur tangan keluarganya.

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang