bag 12; malang

147 31 11
                                    

Saat ini, Haidan sudah berada di bandara bersama Lail dan teman-temannya minus Awan, anak bontot satu itu agak terlambat.

"Iya Pak, pokonya suruh stand by aja di bandara...oh iya, tolong titip pesan ke chefnya jangan kasih masakan yang ada campuran telur ya, Pak, anak saya alergi telur. Baik...terima kasih, Pak."

Haidan menurunkan hp dari telinganya setelah menyelesaikan urusan dengan bawahannya yang mengurus keperluan mereka di Malang nanti.

"Dek, temennya udah semua?" tanyanya pada Lail.

"Belum ayah, Awan belum dateng," jawab Lail, ia mengecek pintu masuk bandara dan belum juga melihat Awan.

"Udah coba ditelpon?"

"Ngga diangkat, Om," jawab Adam. Sekali lagi ia mencoba menelepon adik kelasnya itu.

Haidan menarik napas sambil mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Keberangkatan mereka kurang lima belas menit lagi.

"Itu Awan!" seru Jean.

"ADEK!!!" teriak Rayyan sambil menghampiri Awan yang berlarian sambil menyeret koper. Jean, Rayyan, Adam, dan sekarang ditambah Lail memang jarang memanggil Awan adik walau ia lebih muda dari mereka semua, soalnya anaknya suka ngambek. Tapi keempatnya sebenarnya suka memanggil anak bongsor itu dengan sebutan adik karena memang tingkahnya kelihatan paling bocah diantara mereka.

"Om...hah hah...maaf om...tadi mobilnya Teh Aya mogok, hah..."

Haidan terkekeh pelan, ia mengusap pelan surai Awan yang basah karena berkeringat.

"Ngga papa, Awan. Duduk dulu, masih kurang sepuluh menit lagi."

Awan baru saja duduk ketika mereka dikejutkan dengan teriakan seorang perempuan lagi.

"ADEEEKKK!"

Mereka semua menengok ke arah seorang gadis dengan kardigan merah muda berlari ke arah mereka sambil membawa sebuah barang di tangan kanan.

"Teteh!" seru Awan lalu kembali berdiri.

"Hah...bentar...bentar...ini loh hp-nya ketinggalan di mobil, adek ih ceroboh banget! Ini kalau kamu udah terbang mau dititipin siapa? Di kirim pake ojol ke Malang?"

Awan melirik Haidan sambil tersenyum kikuk, sementara yang paling tua disana hanya menggeleng maklum.

"Iya teh...maaf atuh lah, tadi kan buru-buru," bela Awan. Sementara kakak-kakaknya di sana tertawa pelan.

"Aduh, maaf ya, Pak,", adek saya telat. Tadi teh, mobil saya mogok."

"Ngga papa, terus gimana mobilnya, udah bener?"

Aya menggeleng pelan sambil menggaruk belakang kepalanya kikuk.

"Terus tadi kesini nya?"

"Naik taksi, Pak. Mobilnya saya tinggal di jalan, soalnya mau nganter si adek dulu. Ini teh pertama kali si adek naik pesawat jadi saya harus anter sampe bandara hehe, kalau engga...aduh saya bisa dimarahin ibu!"

"Awan udah gede atuh, Teteh! Tadi mah harusnya Awan kesini sendiri ngga papa."

"Terus kalau hpmu ketinggalan kayak sekarang siapa yang mau nganter, bocah!"

"Udah gede!"

"Stop stop, udah ya, Awan, Teh Aya..." lerai Adam.

Haidan terkekeh pelan melihat pertikaian dua bersaudara itu. Ia jadi teringat masa mudanya bersama sang kakak perempuan.

"Ehm, Aya, sebentar."

Awan dan Aya mengernyit bingung ketika Haidan memanggil seseorang berseragam hitam untuk menghampiri mereka.

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang