𝟘𝟛

379 77 8
                                    

P A S T

Kokonoi melirik pada [Name] yang duduk di sebelahnya. Terlihat wajah gadis itu sedikit pucat, dan dia tengah berusaha menahan rasa mualnya.

Laki-laki itu jadi bertanya-tanya, apakah di desa tempat [Name] besar dulu tidak ada transportasi udara seperti di pusat kota? Padahal seingatnya hampir seluruh tempat di dunia ini sekarang telah menggunakan transportasi udara.

Tadinya, para ilmuwan ingin membuat alat teleportasi, namun tampaknya mereka mengalami kesulitan untuk membuat hal itu.

"Kau baik-baik saja?"

"Matamu buta? Kau bisa lihat bukan aku tengah menahan mual."

Selain karena Akane, jawaban menyebalkan seperti itu adalah hal yang membuat Kokonoi benci berinteraksi dengan perempuan. Padahal dia bertanya dengan baik-baik, namun selalu mendapatkan jawaban yang sangat ketus.

"Mungkin saja kau tengah menahan sakit perut karena ingin buang air? Karena aku tidak tahu, aku bertanya."

"Terima kasih sudah khawatir."

Wajah Kokonoi tampak ingin memukul kepala [Name] dan mengajukan protesnya, namun dia mengurungkan niatnya itu karena tidak tega melihat [Name] yang tampak menderita.

"Apakah di desamu tidak ada alat transportasi seperti ini?"

"Ada, namun orang-orang memilih berjalan kaki atau menaiki sepeda biasa, dibanding transportasi yang melayang seperti ini."

"Termasuk dirimu?"

"Ya, karena aku lebih menyukai segala sesuatu yang membuat otot-otot di tubuhku terlatih."

Sejak awal melihatnya, Kokonoi tahu jika [Name] sangat menyukai olahraga. Dia juga memiliki firasat yang kuat jika [Name] itu sebenarnya sangat kuat, dan dibalik seragam itu terdapat otot besar yang mengerikan.

Selama ini firasatnya jarang meleset, dia dapat membuktikan kebenaran firasatnya kelak, saat dia melihat [Name] tengah bertempur, atau saat pelajaran olahraga.

Begitu tiba di pemberhentian, Kokonoi sengaja membayar tarif [Name] juga, sementara gadis itu segera berlari entah kemana, mungkin saja ingin mengeluarkan isi perutnya yang sejak tadi bergejolak.

"Apakah masih harus berjalan untuk tiba di kediamannya?" tanya Kokonoi pada dirinya sendiri, dengan kepala yang terus bergerak melihat sekitar.

"Sampai kapanpun sepertinya aku tidak akan terbiasa dengan transportasi melayang..." celetuk [Name] yang telah kembali dari toilet umum terdekat.

Kokonoi mengeluarkan botol mineral yang masih tersegel dari tasnya, memberinya pada [Name]. "Rumahmu masih jauh?" tanyanya dengan tangan yang masih terulur untuk meminjamkan sapu tangannya.

"Setelah melewati pemakaman, kita akan segera tiba," ujarnya menunjuk pada pemakaman yang letaknya tak jauh dari mereka. "Terima kasih minum dan sapu tangannya. Setelah kucuci akan kukembalikan."

"Kau memang harus mengembalikannya. Itu buatan Akane."

Mendengar sapu tangan yang tengah dia pakai ternyata buatan Akane, rasa ingin membakar sapu tangan itu entah mengapa mendadak membesar. Akan menyenangkan juga melihat ekspresi Kokonoi saat sapu tangan kesayangannya itu dibakar.

Namun tidak menyenangkan jika Akane tiba-tiba saja muncul dan menyerangnya, hanya karena membuat Kokonoi sakit hati.

Mari tunda saja ide isengnya.

Nirmala ; Kokonoi HajimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang