Gerbang menuju dewasanya sudah di depan mata.
Vicky menatapi deretan bingkai foto yang tertata rapih diatas meja tempel di kamarnya. Tidak, ini bukan lagi kamar bernuansa merah muda di rumahnya, melainkan sebuah apartemen studio dengan nuansa kontemporer di dekat kampus.
Dalam bingkai-bingkai tersebut dapat terlihat orang-orang yang Vicky sayangi berkumpul disana. Papanya, Mamanya, Johny, serta teman-teman SMA-nya yang lain. Jujur, ia tak menyangka jika waktu berputar secepat ini. Rasanya kemarin Vicky masih gadis berusia 5 tahun yang perlu dipampah untuk berjalan. Namun sekarang? Almamater di dekat pintu kamar seolah mengatakan bahwa masa kanak-kanaknya sudah berakhir sekarang.
"Makan malam!"
Suara seruan di luar ruangan membuat gadis dengan pelupuk mata yang mulai berkaca-kaca itupun segera menyeka air matanya, menepuk pipi pelan dan berjalan tuk membukakan pintu. Tak perlu bertanya siapa sosok nan menyerukan makan malam padanya itu, Vicky paham betul siapa pemilik suara bariton nan sengaja dilengkingkan untuknya. Ya, siapa lagi kalau bukan Sam?
Ck! Jika bukan karena pria itu, mungkin Vicky sudah tinggal di apartemen bernuansa merah muda sekarang. Kesal, Vicky masih belum bisa menerima keadaan dimana kedua orangtuanya lebih percaya jika ia tinggal di apartemen yang bersebrangan dengan milik pria itu ketimbang tinggal seorang diri di apartemen berwarna merah muda.
Ceklek! Pintu terbuka.
"Susu strawberry, roti gandum, nasi, potongan buah apel dan ayam pedas," Sam memberikan kantong plastik ditangannya dan langsung diterima oleh Vicky tanpa protes apapun. Meski hanya diam seribu bahasa, namun Sam tahu bahwa ada segelintir kalimat yang hendak Vicky katakan padanya. Maka dari itu, pria berkulit seputih salju itupun masih setia berdiri di depan pintu kamar Vicky, memasang tatapan jahil seolah tengah menanti sesuatu.
"Vicky kan gak suka pedas?" Akhirnya gadis dengan surai diikat dua itupun bersuara.
"Aduh Vicky cantik, sayang banget kalau di tanah perantauan itu kamu gak boleh pilih makanan. Memangnya mau makan malam cuman pake roti sama susu? Terus makan nasi sama buah? Enggak kan?" Sam menjelaskan semuanya dengan gaya 'sok' paham mengenai dunia perantauan. Tapi berhubung ia memang hidup dua tahun lebih dulu di dunia perantauan ketimbang gadis kecil dihadapannya ini, maka Vicky pun percaya.
Gadis dengan balutan suspender berwarna denim dengan dalaman kaos lengan panjang berwarna merah muda itupun mengangguk lesu, berbalik badan tuk menutup pintu tanpa berpamitan pada kakak dari sahabatnya itu. Walau sedikit terkejut dengan sikap tak sopan Vicky, tetapi Sam hanya merotasi bola matanya acuh, dan masuk ke dalam kamarnya.
Seketika ia sadar, dirinya lupa bertanya kelas pertama Vicky besok.
Sembari duduk diatas lantai tuk membuka plastik makanan pesanannya diatas meja ruang tamu, Sam nampak membuka ponsel tuk memberi pesan pada Vicky.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. PRANKSTER
Teen FictionVicky dan Johny adalah dua sahabat kecil yang tak bisa dipisahkan. Maka tak heran Sam, kakak laki-laki Johny, sering meledek keduanya sampai semua orang mengira dua sahabat itu berpacaran. Sampai suatu masa dimana Vicky keterima di kampus yang sama...