06

1.8K 349 30
                                    

Jarak antara gedung Fakultas Teknik dan gedung Fakultas Seni bila ditempuh dengan berjalan kaki, mungkin akan terasa membuang banyak waktu dan energi. Bagi Dipta yang suka berolahraga, tak begitu masalah; hanya saja siang itu sedikit lebih tarik dari hari sebelumnya.

Tujuannya satu, menghampiri Jeka yang membawa flashdisk milik Jimin yang dia pinjam, pasalnya file proposal yang merupakan tugas kelompok juga tersimpan di hardware tersebut.

Sebelumnya Dipta berpikir untuk membuat Jeka mengantarkan barang itu padanya, tanpa perlu membuatnya mengeluarkan usaha sampai jalan kaki seperti ini. Tetapi, dari pagi kawannya itu susah sekali dihubungi. Jadi ya berakhir begini.

Kakinya berhenti di depan kelas yang sempat dia intip untuk memastikan keberadaan Jeka di dalamnya. Lantas dirinya beralih fokus pada smartphone selagi menunggu kelas Jeka selesai;

dan satu nontifikasi pesan tanpa sadar mengontrol perhatiannya penuh.

dan satu nontifikasi pesan tanpa sadar mengontrol perhatiannya penuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

dipta, 13.03

jangan lupa mam, 13.03

mau es teh gak?, 13

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

mau es teh gak?, 13.03

eya langsung dibaca, 13.03

Mungkin lagi-lagi tanpa sadar, sudut bibir Dipta terangkat sangat tipis.

•••

Archilla itu ramah sekali, terlihat mudah berteman dengan siapapun walau yang sebenarnya adalah; tiap orang merasa sungkan untuk sekedar menyatakan diri atau melakukan aksi sebagai teman dari gadis itu. Sebab apa? Perangainya yang demikian baik justru membangun sugesti bahwa Archilla bukan orang yang bisa disentuh sembarangan, apalagi dia dikelilingi oleh beberapa orang yang memiliki aura yang sama, Jeka Wisanggeni terutamanya.

Maka tak heran, mendapati gadis ini menghabiskan waktu istirahat di kantin fakultasnya sendirian.

Netranya berbinar, senyumnya bertahan sejak sepuluh menit lalu selepas mengirim pesan pada pangerannya yang sedang dijaga orang lain. Pahit memang, tapi tak apa. Archilla akan berjuang semampunya.

Jarinya tergerak untuk kembali mengirim pesan, karena meski sudah dibaca; Dipta selalu lambat membalas pesannya. Bersamaan itu, telinganya mendengar suara sekitar yang tiba-tiba lebih berisik, disusul derit kursi yang ditarik.

Namun ia masih tak peduli, lebih fokus berpikir untuk mengetik kalimat apalagi karena yang baru saja Archilla ketik, di hapus lagi karena menurutnya Dipta tak akan suka.

Kebisingan di sekitar kian berlanjut, puncaknya adalah manakala es tehnya yang berada di jangkauan mata diseret menjauh berlawan arah ke sisi meja lain. Bola mata Archilla mengikuti pergerakan gelasnya, kemudian perlahan naik dan menemukan eksistensi pelaku.

Di hadapannya,

Dipta dan bagaimana pemuda itu meminum es tehnya langsung ke bibir gelas, dan jari telunjuk yang menahan sedotan.

Sekembar netra elang itu menatap, tanpa rasa bersalah; seolah tak peduli perihal es teh dan gadis yang kini mematung seakan tersihir pesonanya.

"D-dipta."

Separuh gelas diteguk habis. "Makasih ya." Ucapnya.

Nyawa Archilla dipaksa kembali, tak ingin terlihat benar-benar mendamba, agar si pemuda tak besar kepala, "Sama-sama."

"Ngapain duduk di sini?"

"Nemenin Archilla, kasihan sendirian."

Sang gadis tertawa pelan, "Dih. Sejak kapan lo peduli sama gue?"

Dipta ikut tertawa, "Dari awal kali. Kalau gue gak peduli, gak mungkin gue nyuruh lo buat berhenti ganggu gue."

Benar juga.

"Semalem lo kenapa?"

"Gue bilang capek kan?"

"Beneran capek doang?"

Dipta mengangguk.

"Kenapa ngadunya ke gue, kan lo ada pacar tuh?"

Pradipta mengendikkan bahu, pandangannya tak melepas Archilla sedari tadi, "Karena gue tahu lo peduli, dan gue pikir gak masalah buat sesekali ngikutin kata hati."

Eh?

•••

(っ´▽')っ

I love your boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang