23

510 81 11
                                        

note : ini pendek banget sumpah.

Sekitar pukul sepuluh malam, Jeka tiba di rumah berlantai dua yang hanya diisi olehnya. Pekarangannya cukup luas, dengan taman depan dan belakang. Terdapat anjungan di sisi barat yang digunakan ibu Jeka sebagai perpustakaan. Para pekerja biasa datang di jam sembilan pagi dan pulang di pukul lima dalam keadaan semua pekerjaan rumah beres, dan seluruh akses masuk terkunci rapat.

Ini adalah kediaman baru yang dibeli orang tuanya saat Jeka berada di bangku SMA. Menjadi awal mula ia dan Archilla tidak terpisahkan, dalam artian : meski sudah tak bertetangga lagi, Jeka selalu memiliki alasan untuk merepotkan diri demi gadis itu.

Pekerjaan orang tuanya membuat Jeka kerap kali ditinggal berminggu-minggu. Namun daripada hantu, Jeka lebih takut pada dirinya sendiri. Terutama akhir-akhir ini, ia lebih sering melamun atau memiliki sumbu pendek dalam merespon hal-hal sepele.

Masuk ke dalam dan tak ada siapapun, Jeka langsung menuju kamar di lantai atas setelah mengunci pintu utama.

Ruang pribadi miliknya penuh aksen monokrom, yang didominasi warna turunan hitam, beraroma Glade Vanilla Wood yang manis. Melempar tasnya sembarangan, kemudian melepas seluruh atasan; Jeka masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Ia ingin lekas berbaring dan tidur malam ini.

Saat sibuk bergumam lucu atas rasa semangat menggosok gigi, juga mengagumi parasnya yang terpantul tampan dari kaca wastafel; fokus Jeka terusik atas nada dering yang terdengar dari luar kamar mandi.

Tangannya sempat berhenti bergerak dari kegiatan membuat lingkaran besar di gigi geraham, sebab nada dering yang terdengar mendikte otak untuk memahami apabila ini adalah nada yang dipasang khusus untuk nomor Archilla.

Geraknya menimbang, apakah harus cepat-cepat mengangkatnya atau dibiarkan dulu saja? Benar, Jeka tidak pernah seperti ini tetapi mungkin harga dirinya sedikit terluka.

"Apwaan dah, bapweran amat." Monolognya mencela diri sendiri. Ia beranjak dari kamar mandi dan meraih smartphone yang berada dalam saku jaket. Menggeser tombol hijau, lalu mengaktifkan loud speaker.

"Halo, Jeka?"

"Apa?" Jawab pemuda ini lembut, melanjutkan kegiatan menggosok giginya.

"Lo lagi ngapain?"

"Sikat gigi."

"Udah pulang?"

"Hm." Jeka sedikit menjauhkan smartphone saat memuntahkan isi mulut yang berbusa. Segera berkumur dengan air dan mendengarkan Archilla yang kembali bertanya.

"Tadi enggak ke kampus kah? Gue seharian gak ada ketemu lo."

"Emang lo ngabarin gue?" Tanya Jeka, memandang wajahnya yang sudah bersih.

Ada hening tercipta dari Archilla, sementara Jeka merasa sangat biasa saja atas kalimat tanyanya.

"Ya gue pikir bakal ketemu di kampus. Tapi kayanya lo enggak ke kampus."

Jeka bergerak keluar dari kamar mandi, seraya menutup pintu. "Gue ke kampus, Archi. Lo bukannya gak ada jadwal? Ngapain ke kampus?" Raganya berbaring nyaman di atas kasur empuk dan meletakkan smartphone di samping kepala.

"Tadi gue ke pameran tau! Lo gak kesana emang? Jelek banget, padahal pameran lo dijadiin karya utama."

"Gue ke pameran juga. Lo nya yang gak ketemu gue."

"Kok gak ketemu ya?"

"Terus kenapa emang kalau ketemu?"

"Ya kan bisa makan bareng! Foto sama lukisan lo yang keren itu."

Jeka berbaring menyamping, menghadap smartphone dengan layar menyala, menampilkan foto profil Archilla dan detik sambungan yang berjalan.

"Ke pameran sama siapa?" Tanya Jeka.

"Sama Dipta."

Jeka tersenyum tipis, menangkap nada seruan dari suara Archilla. "Terus kalau makan sama gue, gue jadi laler gitu?"

Archilla terdengar menahan napas, lalu memprotes, "Mana ada! Dipta kan temen lo juga! Gue sama Dipta belum pacaran."

"Tapi kan udah jelas lo berdua sama-sama saling suka."

Tanpa mampu Wisanggeni lihat, Archilla merengut di sebelah sana, tidak paham pada arah pembicaraan Jeka yang menurutnya kemana-mana. Ini mengingatkan Archilla pada kalimat Dipta sore tadi.

"Lo sama Dipta kenapa sih? Dipta ada bilang kalau saingannya tuh lo. Kalian sama-sama temen loh."

Lagi-lagi Jeka tersenyum, merasa lucu pada reaksi Archilla yang polos. "Itu karena," Jeka menatap langit-langit kamar yang remang-remang atas pencahayaan yang diatur minim. "Gue ngerasa lo punya gue. Dipta juga ngerasa kalau lo punya dia."

Archilla diam, mendengarkan seperti anak baik.

"Sewajarnya kalau Dipta ngerasa gue saingan dia, karena gue yang paling deket sama lo. Bagi gue, wajar juga kalau gue ngerasa kurang suka, karena Dipta narik lebih banyak perhatian lo."

"Gue enggak-" Sela Archilla tertahan.

Jeka melanjutkan, "Itu karakter alami cowok, Archilla. Sekali dihak milik, ya itu teritorinya."

"Tapi gue bukan barang!"

Jeka terkekeh, alasan Archilla klise sekali. Antara ingin menyangkal, atau memang belum sepenuhnya menangkap maksud dari kalimat yang Jeka jelaskan panjang lebar.

"Lo emang bukan. Kita ngerasa bersaing kaya gini, karena sama-sama sayang ke lo. Ngerasa kalau masing-masing diri bisa ngelakuin yang lebih baik daripada siapapun buat lo."

Jeka menghela napas tanpa bersuara, melepaskan beban yang dari sore menyesakkan dada. Dia tak pernah suka bersikap melankolis, tetapi dia sedang berusaha menyesuaikan diri. Sebab untuk lebih banyak waktu ke depan, Archilla mungkin akan lebih menyukai kehadiran Pradipta di hari-harinya.

"Archi, gue ngantuk. Ketemunya besok aja ya?"

"Gak ada yang ngajak ketemuan sekarang."

"Tapi lo tadi protes kaya orang kangen."

"Bodo amat."

Jeka kembali tersenyum, menyadari sambungan yang diputus sepihak oleh sahabatnya.

Tak ingin berlarut-larut atas hal lain, mata Jeka terpejam. Meraih alam mimpi, tanpa pernah tahu Archilla tengah berpikir keras atas banyak kalimatnya barusan.

•••

jisoo versi archilla di kepala ku tuh yang kaya gini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jisoo versi archilla di kepala ku tuh yang kaya gini. cantik, elegan, mahal, ibu peri, tapi bodoh karena milih ngejar. wkwk.

aku sayang kalian. 🥰😣💗

I love your boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang