17

1.2K 196 55
                                    

"Dipta!" Pergelangan tangan Dipta diraih Jennie, menghasilkan sang pemuda yang berbalik, ekspresinya datar pada gadis yang kurang dari dua puluh empat jam resmi menjadi mantan kekasihnya.

"Ayo bicara. Jangan ngehindarin aku!" Ungkap Jennie. Masa bodoh oleh dua-tiga pasang mata dan telinga yang diam-diam menyimak.

Keduanya baru saja keluar kelas. Jennie sudah menahan diri sedari tadi, mengingat pesannya terakhir kali tak mendapat jawaban dari pemuda ini. Bahkan sepanjang kelas, meski Jennie tetap sengaja duduk persis di samping Dipta, ia hanya mendapati sikap tak acuh dan aura dingin yang seolah ditujukan padanya. Memutuskan untuk menyusul langkah Pradipta, kini mereka berada di ujung lorong yang lumayan sepi.

Hela napas lelah tersuara, "Mau bicara apa?" Tak bisa dibohongi, hatinya masih berdenyut sakit begitu berhadapan dengan orang yang pernah menjadi sepenting itu di hidupnya. Bersyukur saja, karena dugaan Jennie benar, Dipta telah mengubah arah laju hatinya kepada gadis lain sebelum mereka benar-benar usai. Maka, ini tak akan sesakit itu.Brengsek memang.

"Kita! Soal Kita! Kita gak bisa selesai gitu aja!"

"Terus harus gimana? Gue harus bertahan sama orang yang gak sepenuhnya mau sama gue?"

Jennie menggeleng, "I want you. I really fuckin want you." Netranya berkemilap, sesak di dada membuatnya ingin menangis sekarang juga. Ia ingin egois. Ia tak mau Dipta menjadi milik orang lain.

Genggaman Jennie di pergelangan ia lepas perlahan, berganti dengan kedua tangannya yang memegang bahu Jennie sama pelannya. "Denger," Dipta menatap tepat pada kedua bola mata lawan bicara, "Gue maafin lo. Gak pernah sedikitpun gue punya pikiran buat benci atau nyakitin lo. Jadi tolong Jennie,"

Jennie benar-benar menangis; ia tahu Pradipta pasti terluka karenanya, tetapi pemuda itu tetap mampu menatapnya hangat selayak tangisnya masihlah kelemahan terbesar seorang Pradipta. "-tolong bikin ini jadi mudah. Lo lanjutin apa yang lo suka, dan gue bakal ngelakuin yang sama. Maaf, maafin gue karena bikin lo sedih."

Surai sang gadis diusap, kemudian raga Dipta bergerak mundur manakala sirah Jennie kembali menggeleng menandakan protes; ia juga menghindar dari jangkauan Jennie yang mencoba meraihnya lagi, lantas sungguhan berlalu meninggalkan Jennie yang menangis keras.

•••

Nadinya berdenyut, asing oleh perasaan senang yang sedikit terganggu dengan beberapa alasan. Akan tetapi langit luar biasa cantik sore ini; atas mentari yang dengan suka rela menurunkan intensitas cahayanya, lembutnya awan kapas, rimbun dedauan dari ujung pohon yang nampak dari atap gedung, juga semilir angin yang membawa udara baru.

Archilla keluar dari kelas terakhirnya di pukul lima. Seperti dirinya yang sudah-sudah, senyum mudah sekali ia bagi. Bahkan pada beberapa orang yang hari ini menaruh atensi lebih padanya.

Tentu saja.

Kedekatannya dengan pemuda Pradipta berhasil menimbulkan asumsi-asumsi beragam ketika kabarnya perlahan menyebar. Tetapi, Archilla mengambil sikap apatis. Sebut saja dia tak tahu diri, sebab nampak tak mengambil apapun dari siapapun. Padahal Archilla memiliki banyak kekhawatiran dalam diri. Walau kenyataannya, Pradipta sendiri yang mengakhiri apa yang perlu ia akhiri. Datang padanya, dan sekarang, Pradipta tengah berusaha pantas untuk Archilla. Maka Archilla akan menanti.

Smartphone di saku almamater berbunyi, membuatnya segera menjawab begitu nama Jeka ia dapati.

"Halo, Jeka?"

I love your boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang