13

1.7K 333 116
                                    

Dipta berdiri dari posisinya yang semula berjongkok; menatap Jeka yang turun dari motornya setelah Archilla lebih dulu. Bola matanya bergulir perlahan, berusaha menggapai Archilla ke dalam retinanya. Terlalu banyak implus yang dikirim otak agar dia segera mengatakan semuanya.

Namun sang gadis bersembunyi, diam-diam mencengkeram erat kain jeans yang membalut tubuh Jeka. Tak tahu, tetapi Archilla takut. Dia tak ingin bertemu Dipta.

Malam itu, selesai Dipta mengantarnya pulang; ia masuk ke kamar dan menangis tanpa usai. Kepalanya dipenuhi pemuda itu. Segalanya tentang Dipta. Tentang kebodohan, dan rasa sepihaknya. Bahkan ketika ia memutuskan untuk tidur seperti perkataan Jeka, pemuda itu tak juga enyah meski matanya terpejam.

Lantas sekarang, apalagi yang Pradipta inginkan?

"Lo ngapain Dip di sini?" Adalah pertanyaan Jeka, yang entah menyadari atau tidak, gelagat aneh kedua kawannya.

Wisanggeni menatap bingung, seingatnya Dipta tak sedekat itu untuk bisa bertamu ke rumah Archilla meski Dipta tahu di mana letak rumahnya.

Jeka menoleh, menemukan Archilla yang mengindari tatapan. "Archi?" Interupsi Jeka.

Pradipta yang sudah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan, memutuskan untuk mendekat. Hendak bersuara, menyuarakan maksud dari kedatangannya.

Dan kemudian Archilla menyela, "ITU!" sahutnya sedikit berteriak, berhasil menghentikan langkah Pradipta.

Dahi Jeka mengernyit, menyimak penjelasan Archilla baik-baik. "H-hape lo mati gara-gara low bat kan tadi? Katanya lo gak bisa dihubungin. Makanya Dipta nge-DM gue, nyariin lo. Yaudah gue bilang lo nganter gue pulang, biar dia ke sini, gak perlu muter-muter nyari lo."

Archilla tersenyum; ia tahu, ia tak kan pernah bisa membohongi Jeka. Lihat bagaimana pemuda itu yang masih diam, seolah memastikan apa yang dikatakan Archilla benar karena hatinya tak berkata demikian.

Wisanggeni mengangguk, "Oh." percaya.

Merasa aman, Archilla segera melarikan diri dari sana, "Gue masuk duluan ya?"

"Iya, istirahat Archi." Jawab Jeka yang mengelus surai gadis itu, membiarkannya masuk.

Interaksi mereka, tak luput dari pandangan Dipta yang tak juga bisa berkontak mata dengan Archilla. Keberadaannya seolah tak nyata, hingga Archilla terus mengabaikannya.

Begitu sang gadis masuk ke dalam rumah, Jeka memfokuskan diri pada kawannya yang bungkam dari awal.

Maka, kala dua pasang mata itu bertemu, udara malam seakan menyusut, menjadi lebih dingin dengan senyap yang diambil sekejap menjadikan atmosfer terasa menekan masing-masing.

"Gue tau Archi bohong." Ucap Jeka pelan, layaknya tak ingin angin mendengar. Karena pernyataan itu ia tujukan pada kehadiran kawannya yang memancing banyak tanda tanya untuk kepala Jeka. Apalagi membuat Archilla sampai berbohong, sebesar apa hal yang disembunyikan.

Pradipta, "Gak sepenuhnya, gue emang ada perlu sama lo."

"Apa?"

Dipta maju selangkah, "Mau mastiin aja. Lo ke Archilla, beneran sebatas sahabat doang?"

Lima tahun berteman, tak pernah seorang Pradipta bersikap terlalu ikut campur seperti ini sebelumnya.

"Kenapa emang?"

Netra Dipta menajam, dalam satu garis lurus melawan tatap pada Jeka tanpa rasa gentar; sekalipun ia tahu, bila ia jujur, posisinya akan benar-benar terlihat salah.

"Gue suka Archilla."

Mendengar itu, Jeka tersenyum lebar, "Bajingan lo."

Kedua tangan Jeka mencengkeram kuat kerah jaket kawannya, "Bilang ke gue apa lagi yang lo sembunyiin, bangsat."

I love your boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang