◍◍
Suasana berkabung masih menyelimuti keluarga Lee. Tentu saja. Bahkan meskipun hari tidak lagi dapat mengukur masa yang pernah ada, perasaan berduka itu tidak akan pernah berhenti mereka rasakan.
Saat ini mereka tengah duduk termenung di ruang keluarga. Tidak ada yang membuka suara. Semua terdiam dalam perasaan bersalah yang semakin menyesakkan hati.
"Aku merasa sangat buruk." Semua menatap Chenle--- yang kini menjadi yang paling muda di antara mereka. Chenle tersenyum. "Bodohnya aku yang tidak memahami maksud ucapannya."
Dia memutar memorinya pada kejadian malam dimana Jisung mendatangi kamarnya.
"Chenle Hyung, kau sibuk?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bilang, jaga dirimu baik-baik. Arraseo?"
Chenle terkekeh pelan seraya menatap para hyung-nya dengan mata sembab. "Kenapa aku bodoh sekali, Hyung?"
"Kau pikir aku tidak?" Kini Renjun yang menyahut. Dia balas menatap Chenle dengan sorot pedih. "Dia bilang merindukanku. Harusnya aku tahu kalau kalimat seperti itu tidak akan pernah keluar dari mulut seorang Lee Jisung. Tapi apa? Aku malah ---"
"Kita semua bodoh." Jeno menyela. "Dengan cara kita yang mengabaikannya seperti ini, kita semua sudah bodoh. Kita bahkan tidak tahu kalau selama ini dia sedang sakit. Dia menyem--- tidak. Dia tidak menyembunyikan apapun. Kita saja yang terlalu acuh padanya."
"Apa sekarang kau merasa lebih baik, Hyung?"
Semua mata menatap Jaemin yang masih menatap kosong pada lantai di bawahnya.
"Jaemin- ah,"
"Mark Hyung," Jaemin menatap Mark. "Bebanmu sudah berkurang satu. Apa sekarang kau... Merasa lebih baik?"
"Apa yang kau katakan, Jae?" Haechan bersuara, membuat Jaemin terkekeh kecil.
"Kau juga..."
"Aku?" Haechan menunjuk dirinya sendiri.
Jaemin memejamkan mata. "Kalian pasti senang karena tidak akan ada yang menyusahkan lagi."
"Lee Jaemin!"
"Kau bahkan tidak menyadari kehadiran Jisung saat kau membicarakannya dengan Renjun hyung malam itu di ruang tamu. Apa aku salah, Hyung?"
Mark dan Renjun tertegun.
Renjun menatap Mark yang kian memucat.
"A-apa..?"
"Ya. Jisung mendengar semuanya. Aku ada di sana. Awalnya aku ingin menegurnya karena berdiri di balik tembok. Tapi ketika aku menyadari apa yang sedang menjadi fokusnya, aku mengurungkan niatku. Dan lucunya, bukannya mencoba menjauhkannya dari rasa sakit yang sudah pasti dia rasakan, aku justru menghindar sendiri. Aku jahat sekali."
"Hyung,"
Jaemin menunduk seraya meremas kuat dadanya. Sesak. Hingga membuatnya kesulitan bernafas.
"Aku bodoh. Harusnya aku menghiburnya. Harusnya aku tidak mendengarkan saran kalian untuk menjadikannya mandiri. Harusnya... Harusnya..."
"Jaemin- ah," Jeno memeluk adik kembarnya itu. Matanya memerah menahan tangis. Kenapa mereka bodoh sekali?
Mark tercenung. Jiwanya terguncang mengetahui fakta tersebut. Apa yang sudah ku lakukan?
Haechan dan Renjun hanya bisa menunduk. Mereka sama-sama tenggelam dalam satu rasa bernama penyesalan.
Tok..tok..tok..
KAMU SEDANG MEMBACA
Lossing You..| End✓
FanfictionTentang si bungsu yang terabaikan. •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• "Angin perubahan selalu ada. Dengan atau tanpa di minta, ia akan tetap hadir. Karena begitulah tugasnya."