𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝟔

114 20 0
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Kau masih bisa merasakan hangat di pipimu yang memerah. Sementara itu, para member Wonder Stage hanya melihatmu sambil cengar-cengir bahagia.

"Aku tidak menyangka akan mendapat show spesial seperti tadi..." Kamu menepuk-nepuk pipimu, berusaha menghilangkan rasa malu yang tersisa. Emu tertawa, "Syukurlah, (Name)! Kamu sudah ceria lagi!"

Nene melanjutkan perkataan Emu, "Semua ini berkat si bodoh itu, ya. Berterima kasihlah kepadanya."

"Oi Nene, siapa yang kau panggil bodoh hah?!" Tsukasa nampak tidak terima. Yang lain—termasuk kau—tertawa menanggapinya.

"'Sakura', ya..." gumammu. Kamu terkekeh kecil, memahami maksud perkataan pemuda tersebut tempo hari.

"Hm? (Name)? Ada apa?" tanya Tsukasa. Kamu menggeleng, "Tidak, aku hanya merasa senang,"

"Tsukasa-san," panggilmu, "Terima kasih, ya."

Tak ada respons. Pemuda itu bergeming mendengar ucapanmu.

"Tsukasa-san?" Kamu melambaikan tangan di hadapannya. Tsukasa tersentak.

"Oh, ah..." Tsukasa berpikir sejenak, "Hahaha! Sebagai seorang star, hal seperti ini tidak ada apa-apanya!"

Jeda di antara bicaranya tadi terasa janggal untukmu. Saat kau ingin bertanya, Emu sudah lebih dulu memanggil pemuda tersebut. Tsukasa bergegas menghampirinya setelah meminta maaf kepadamu.

Hingga hari berakhir pun, kamu tetap tak bisa menemukan penyebab tingkah aneh darinya pada saat itu.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Hujan kembali mengguyur dengan derasnya. Kali ini kau tidak berjalan keluar kamar dan menontonnya melalui jendela lorong, karena ada tamu spesial yang sedang berkunjung.

"Kamu datang lagi, ya." ucapmu sambil memperhatikan Tsukasa yang sedang mengupas apel yang ia bawa. "Lain kali kalau datang, bawa pisang saja. Aku lebih suka pisang."

"Kamu ini banyak maunya ya, (Name)." Pemuda itu menghela napas. Tsukasa kini datang atas inisiatifnya sendiri lantaran Saki sedang latihan band. Kamu terkekeh.

"Tapi serius deh, aku benar-benar tidak menyangka kalian akan melakukan teater partisipatif seperti itu." Kau membuka pembicaraan tentang show yang mereka gelar saat itu. Terlepas dari malu karena hal yang tiba-tiba seperti itu, kau tetap merasa senang atas hal tersebut. "Aku seperti mendapat kado ulang tahun lainnya di tahun ini."

"Haha, berterima kasihlah kepada future star ini!" Tsukasa tertawa bangga. Kau ikut mengulum senyum.

"Omong-omong, bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah baikan?" tanya Tsukasa dengan nada khawatir. Selepas show di hari itu kau merasa tidak enak badan. Kamu mengangguk. "Hanya kelelahan biasa. Sepertinya aku terlalu bersemangat waktu itu."

"Jangan dipaksakan ya." ucapnya mengingatkan. Tangan pemuda tersebut menyerahkan sepiring apel dengan potongan kelinci. Kau asal mengiyakan perkataannya sambil mengambil sepotong dan melahapnya. Biarpun lebih suka pisang, apel tetaplah buah yang enak. Tsukasa melihatmu menghabisi apel yang dia potong dalam diam.

"Sudah kuduga, kalian benar-benar mirip." celetuk Tsukasa tiba-tiba, setelah apel berbentuk kelinci ludes dari piringmu. Kamu mengerjap heran, "Aku?"

"Iya, dengan Saki." jawab Tsukasa.

"Hmmm, benarkah? Menurutku kami punya banyak perbedaan lho." balasmu enteng, "Mungkin hanya perasanmu."

Tsukasa tertawa pelan, "Benar, mungkin saja."

Hening merayap di antara kalian berdua. Tsukasa sibuk membereskan sisa mengupas apel, sementara kau menatap ke jendela luar dalam diam.

"Anu, Tsukasa." panggilmu. Sejak hari itu, kau mulai memanggilnya tanpa embel-embel -san untuk mengurangi batas formal di antara kalian. Pemuda itu menoleh.

"Terima kasih." ucapmu. "Padahal kita baru saling mengenal belakangan ini, tapi kamu sudah berbuat sejauh ini untukku. Aku senang."

Mendengar ucapan terima kasihmu, pemuda itu melukis senyum getir di wajahnya. Tsukasa mengalihkan wajahnya darimu, tangannya mengepal. "Dulu saat Saki dirawat di rumah sakit, aku tidak bisa berbuat apapun. Padahal aku sudah berjanji untuk membuatnya tersenyum, tapi aku..."

"Itu tidak benar." Kamu membantah perkataan Tsukasa.

"Saki selalu terlihat bahagia ketika berbicara tentangmu. Kalau mendengar ceritanya, aku jadi berpikir 'Beruntungnya Saki karena memiliki kakak sebaik itu'."

Kamu mengulas senyum tipis, mencoba menenangkan pemuda tersebut, "Tsukasa, menyakitkan ya? Tapi yang terpenting, pasti Tsukasa merasa sangat kesepian...."

Pemuda itu terdiam, "Kesepian?"

"Benar kan? Soalnya, selama ini kamu pasti selalu sendirian. Menunggu dan berjuang seorang diri."

"Aku... sendirian?"

Tsukasa menatap kosong lantai kamar rawatmu. Kamu tidak salah. Sejak Saki mulai keluar-masuk rumah sakit, orangtuanya sering pulang larut malam dan meninggalkannya sendirian di rumah. Tapi apa benar hanya itu saja? Bahkan soal show pun, entah berapa lama ia menekuni hobinya itu tanpa seorang pun yang menemaninya, sendirian. Pemuda itu membeku.

"Kau... mungkin benar," gumamnya, "Ta-tapi semua ini tidak ada apa-apa dibandingkan dengan apa yang harus kalian hadapi. Aku—"

"Tsukasa. Aku tahu kau ingin bekerja keras, tapi lelah adalah wajar, dan aku tidak ingin Tsukasa menolak perasaan itu seakan tidak pernah ada."

"Tidak apa-apa. Tsukasa tidak perlu memaksakan diri lagi. Kau sudah berjuang. Hadirnya Tsukasa disini, di hadapanku adalah buktinya."

Kau menarik tangannya yang mengepal erat, mengelusnya lembut, "Lagipula, Tsukasa sudah tidak sendirian lagi kan? Ada Emu, Rui, Nene. Mereka mau berjalan bersama Tsukasa, membuat banyak show hebat bersamamu setiap harinya."

"Dan Saki. Tubuhnya sudah sehat bugar seperti itu, aku yakin saat ini dia sedang berusaha menyejajarkan langkahnya denganmu."

Senyap mengisi kekosongan di antara kalian. Kau masih menatap ekspresi datar pemuda tersebut yang termenung, khawatir ada hal salah yang kau katakan kepadanya.

Tsukasa membuang napas berat. Ia bangkit dari duduknya, menatapmu.

"Terima kasih," ucapnya tiba-tiba, membuatmu sedikit terkejut.

"Kau menyadarkan aku soal sesuatu yang tidak aku sadari. Bukan, aku mungkin pernah menyadarinya, tapi aku membuang pemikiran itu jauh-jauh dan tidak pernah kembali lagi."

"Aku ingin membantu sebisaku," balasmu, "Karena Tsukasa terlihat 'tidak baik-baik saja'. "

"Yah, walaupun begitu jangan remehkan aku sebagai seorang future star, lho." kekehnya. "Aku pasti akan segera menemukan solusinya. Makanya, kau pun jangan khawatir dan cerialah."

Kau tertawa kecil. "Aku tahu kok. Tapi Tsukasa, kau harus selalu ingat untuk meminta bantuan pada kami jika kau membutuhkannya."

"Siap, paham!" seru Tsukasa. Kau tergelak melihatnya.

"Kalau begitu, aku pamit dulu. Jam berkunjung akan segera berakhir," Pemuda itu mengacak-acak rambutmu. "Jaga dirimu ya."

"Eh, iya..." Kau jadi sedikit salah tingkah. Pemuda itu bergerak membereskan barangnya dan berjalan ke pintu kamar rawatmu.

Hujan di luar ruangan sudah mulai reda dibandingkan sebelumnya.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

petrichor.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang