𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝟑

115 22 0
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

"Jadi setelah kau menonton promotional show kami di taman waktu itu, kau mengetahui kami berasal dari Phoenix Wonderland,"

Kau mengangguk, membenarkan perkataannya.

"Lalu saat diperbolehkan keluar rumah sakit untuk sementara, kau kabur dari orangtuamu dan pergi menonton show kami, sendirian?" Tsukasa mengulang ceritamu. Intonasinya terdengar sedikit ditekan. Kau mengangguk lagi.

"Padahal kondisimu seperti ini?"

Pertanyaan itu seketika mengenaimu tepat sasaran.

"Tidak boleh ya?" tanyamu pelan.

Tsukasa menghela napas, "Dengar ya, kita baru bertemu beberapa kali jadi aku mungkin tidak berhak mengatakan ini, tapi siapapun tahu kalau itu beresiko, (Name). Bagaimana kalau saat itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?"

Kau memasang wajah cemberut. "Tapi semuanya berjalan lancar kok. Walau kena omel, pada akhirnya aku kembali dari sana dengan selamat." elakmu.

"Tetap saja... Ya ampun, kau ini ceroboh sekali." Tsukasa memijat dahinya. "Mereka akan khawatir setengah mati kalau tahu soal ini, lho. Terutama Emu."

"Habisnya, waktuku kan sudah tidak lama lagi, jadi wajar dong kalau aku ingin melakukan hal yang kusuka sebanyak yang aku bisa?" Kau mencoba mengutarakan pemikiranmu—tidak mau kalah.

"Tapi kalau kamu ceroboh begitu nanti malah tidak bisa melakukan apapun, tahu." balas Tsukasa yang akhirnya membuatmu kehabisan kata-kata pembelaan. Kau terdiam. Perlahan, perasaan bersalah dari lubuk hatimu mulai muncul ke permukaan. Kau membayangkan seberapa paniknya orang-orang terdekatmu yang mencoba mencari dan menghubungimu.

"Maaf..." ucapmu pada akhirnya. Dinasihati seperti ini oleh orang yang baru kau kenal entah kenapa rasanya lebih menyakitkan untukmu. Padahal kau bersikap acuh saat orangtuamu mengoceh soal mereka yang mengkhawatirkanmu.

Berkat omelan Tsukasa, kamu pun mulai menyadari sikap seenaknya milikmu yang cukup merepotkan mereka. Kepalamu menunduk semakin dalam, mencoba membendung perasaan bersalah tersebut.

Tingkahmu membuat Tsukasa berpikir nasihatnya terlalu keras, bahkan pemuda itu tidak pernah mengomeli adiknya seperti tadi.

"Aku minta maaf karena mengatakan hal yang menyakitimu, padahal kau baru mengenalku belum lama ini." sahutnya pelan.

"Aku memang salah, jadi mau bagaimana lagi." balasmu.

Tsukasa kembali menghela napas, merasa kelelahan. Dia memutuskan mengambil duduk tak jauh di sebelahmu, ikut menyaksikan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota di tengah hujan beserta rintik-rintik air yang menempel di sana dalam diam. Kalian pun membisu, sibuk larut dalam pikiran masing-masing.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Di tengah lamunannya, Tsukasa diam-diam menoleh ke arahmu yang sedang menatap lantai rumah sakit dengan murung. Pemuda itu tertegun. Terlintas di pikirannya para showcasts di Wonder Stage. Emu, Nene, Rui, masa ketika Wonderlands x Showtime dibuat, serta sebuah bayangan masa lalu yang turut muncul di alam bawah sadarnya...

Pemuda itu menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha mengusirnya. Baiklah, keputusannya sudah mantap.

"Yosh." Tsukasa mengepalkan tangan. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahmu, berdiri tegap di hadapanmu. Kau mendongak, menatap kedua matanya yang balas memandangmu dengan mantap. Tidak ada keraguan sedikit pun di sana.

"Sudah kuputuskan." ucapnya tegas. "Mulai sekarang, kau akan berada di bawah tanggung jawabku."

"Tungg- Hah?" Kau mengernyit. Apa-apaan?

"Tidak ada penolakan." cetusnya. "Sebagai seorang future star, aku tidak bisa membiarkan teman adikku bersedih. Itu melawan prinsip dan tujuanku."

"T-Tapi..." Kau berusaha mengelak.

"Pokoknya," Tsukasa menyela tegas "Aku tidak akan tinggal diam kalau kau bertindak ceroboh lagi seperti waktu itu. Paham?"

"E-Eh..." Kau benar-benar bingung harus menjawab apa—terlalu kaget untuk memberi respon.

Pemuda itu berlutut dan menyamakan tingginya denganmu. Sepasang matanya menatapmu dalam-dalam, membuat sebuah perasaan aneh merasuki batinmu.

"Kumohon, jangan membuat orang terdekatmu khawatir lebih dari ini." ucapnya pelan, "Kalau kau benar-benar menghilang, mereka jadi orang yang paling bersedih lho."

"Kau pun tidak ingin mereka terluka kan?" lanjutnya, menyentak hatimu. Kau terdiam, mencerna perkataannya baik-baik.

"Maaf, aku sudah egois," Kamu mengulang permintaan maafmu, kembali menundukkan menunduk.

Mendengar permintaan maaf lainnya, Tsukasa tersenyum takzim. Dia mengelus puncak kepalamu. "Simpanlah permintaan maafmu itu untuk mereka juga nanti."

Tak lama waktu berjalan, Saki pun datang. Kamu buru-buru memasang senyum agar dia tidak khawatir. Kalian sempat berbincang, tapi kau tidak ingat apa yang dibicarakan. Entah apa yang ada di pikiranmu saat itu sampai akhirnya Saki dan Tsukasa mengantarmu ke lorong di depan kamarmu sebelum mereka pulang.

Setelah itu, perkataan dari pemuda tersebut terus tertanam di dalam pikiranmu sepanjang hari.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

petrichor.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang