𝐄𝐩𝐢𝐥𝐨𝐠

174 19 3
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Suara guyuran hujan yang seakan menjauh di hari itu, bahkan seorang Tsukasa masih mengingatnya hingga saat ini.

Lima tahun. Sudah lima tahun sejak semua hal itu terjadi, tapi Tsukasa merasa baru kemarin ia bertemu dan tertawa bersamamu.

Tsukasa tahu. Orang-orang di sekitarnya selalu berusaha keras untuk diri mereka masing-masing. Emu yang mempertahankan Wonder Stage milik kakeknya demi melihat senyuman yang menghidupi tempat tersebut, Nene yang melawan rasa takutnya demi mewujudkan impiannya menjadi aktris kelas dunia, Rui yang berkreasi untuk membuat show yang menarik setiap harinya, Saki yang melawan penyakitnya demi menikmati masa muda bersama kawan satu band-nya.

Dan kamu yang melawan rasa kesepianmu sembari berjuang dengan penyakitmu.

Bahkan setelah banyak hal berubah pun, pemuda itu masih mengingat rasa sakit dan penderitaan yang diderita orang-orang tersebut. Terutama dirimu.

Tsukasa merasa sangat malu jika terlintas di benaknya untuk memberikan jeda untuk dirinya sendiri. Tidak bisa. Mana mungkin ia bisa beristirahat saat yang lain terus melangkah maju-dan bisa saja suatu saat kembali meninggalkan ia sendirian lagi. Seperti saat ia berlatih main piano dan show sembari menunggu orangtuanya dan Saki pulang ke rumah.

Seperti saat kamu memberikan luka yang sama untuk kedua kalinya. Memperparah keadaan, luka itu meninggalkan sebuah bekas permanen yang sangat sensitif. Disentuh sedikit, dampaknya tidak sedikit.

Namun, pemuda itu tidak menyerah. Bahkan di saat ini, Tsukasa tengah berjuang melawan rasa sakitnya tersebut.

Tangannya meletakkan vas berisi bunga krisan putih di depan nisan makam keluargamu. Merasa sesak, Tsukasa melonggarkan dasi yang melilit lingkar lehernya.

"Halo, (Name)," sapanya, "Sudah lama, ya."

Pemuda itu lanjut membakar dua buah dupa sebelum menepuk kedua telapak tangannya dan mulai berdoa. Menceritakan banyak hal di dalam doanya.

Entah berapa lama waktu berlalu saat Tsukasa kembali membuka matanya dan melihat dupa yang terlihat sudah terbakar lumayan banyak. Pemuda itu tersenyum, berbisik,

"Terima kasih, (Name),"

"Semoga, kebahagiaan selalu menghujani dirimu yang seperti itu."

Maka bangkitlah pemuda itu, berjalan meninggalkan pelataran makam.

Perlahan, juga terus melangkah.

Berusaha menyembuhkan luka masa lalunya.

— ୨ ★ END ★ ୧ —

petrichor.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang