𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝟗

108 18 0
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Bau pekat antiseptik khas rumah sakit. Desingan pelan dari pendingin ruangan. Alat pendeteksi jantung yang berkedip teratur, menjadi bukti kalau kau masih "ada". Sayup-sayup, kau bisa mendengar percakapan dari sepasang orang di dalam ruangan.

"Kondisinya memburuk, jauh dari yang kami predisikan."

"Apa masih ada kemungkinan, Dokter?"

"Ada, jika operasi sukses dijalankan. Tapi karena sangat kecil, kami tidak bisa menjaminnya lewat hal itu juga."

Perlahan, kau membuka kelopak matamu. Langit-langit putih yang tidak asing. Kau menolehkan kepala, menangkap dua orang yang terasa familiar, membuatmu teringat hal terakhir di memorimu sebelum sampai di kamar ini lagi.

Taman. Hujan. Tempat berteduh. Lalu, orang itu.

 Kau ingat. Pemuda itu melepaskan ciumannya, lalu kalian terdiam satu sama lain sampai pusing kuat yang menyerang membuat tubuhmu ambruk. Entah sudah berapa waktu berlalu sejak saat itu.

"Jika persiapannya lancar, operasi akan dilaksanakan dalam beberapa hari." Begitu yang kau tangkap. Mendengarnya, kau membatin lemah.

Sudah waktunya, kah...

Dokter itu mengucapkan beberapa patah kata kepada orang tersebut sebelum akhirnya melangkah pergi.

Untuk apa aku berjuang kalau pada akhirnya akan seperti ini...

Orang itu berjalan menghampirimu. Kini setelah ia berdiri di sebelah ranjangmu, kau bisa melihat wajahnya lebih jelas.

Tsukasa... kau ingin memanggilnya, namun suaramu seakan tertahan di dalam tenggorokan. Bahkan bibirmu sangat sulit untuk mengucapkannya.

Padahal aku kira akhirnya kali ini aku bisa membantunya...

Kau menatap langit di luar jendela. Cahaya mentari menerobos masuk di antara bubuhan awan gelap di sekitarnya.

Padahal... aku kira aku akan bertemu dengan musim hujan selanjutnya...

Pemuda itu meraih puncak kepalamu, mengelusnya dengan lembut.

"Kau sudah berusaha ya," bisiknya, memicu munculnya tetes air di pelupuk matamu.

Ada banyak, banyak hal yang ingin kau katakan padanya. Tapi seakan direnggut, lisanmu tak kunjung menyampaikannya.

"Ssstt... tenanglah." ucapnya. "Biarkan semuanya berjalan dengan baik, ya?"

Air mata pun mengalir ke pipimu. Kau menggeleng pelan, menatap Tsukasa di balik bendungan yang menyamarkan penglihatanmu.

Seakan mengerti maksudmu, Tsukasa tersenyum tipis.

"Aku sendiri tidak keberatan apapun yang akan terjadi nanti..."

Pemuda itu menunduk, mengecup pelan dahimu.

"Tidak apa-apa, (Name)."

"Terima kasih untuk segalanya."

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

petrichor.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang