Sayup-sayup terdengar pembicaraan Ibu dengan Bu Puji walaupun sangat pelan sekali. Namun, aku mencoba mendengarkan secara jelas.
"Ibu yang membuat Raya meninggal? Bukankah aku tidak memintanya, Bu?" ucap Ibu.
"Kan, saya sudah tawarkan sebelumnya, lagian kamu akan mendapatkan untuk banyak, Mbak!" timpal dari Bu Puji.
Untung apa? Aku belum bisa mengerti.
Aku terus mendengarkan pembicaraan mereka, agar aku tahu apa yang sedang Ibu rahasiakan di balik ini.
Namun, pintu yang tak aku tutup rapat berbunyi pelan dan terbuka secara perlahan.
"Adrian!" teriak Ibu.
Aku terkejut bukan main. "Maaf, Bu. Aku menutupnya tidak rapat."
"Bu Puji, tolong tutup pintunya dan kunci."
Ibu seperti sangat marah, ia memerintahkan Bu Puji untuk menguncinya dari dalam dan aku tak akan bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka.
Aku mundur perlahan dan duduk di atas sofa kecil.
Bapak, Raya! batinku.
Ada apa sebenarnya? Apa ada kaitannya dengan kematian Asih? Apakah ini sebuah karma untuk Ibu? Tapi ... arg! Aku sangat sulit berpikir untuk masalah yang di luar logika seperti ini.
Aku mulai berjalan ke teras rumah, berharap Bapak segera pulang dan membawa jenazah Raya. Aku berdiri tepat di depan pintu rumah, tetapi mataku terbelalak saat melihat kantong plastik hitam tergeletak tepat di depanku.
"Plastik apa ini?"
Kubuka pelan, tapi pasti. Bunga dengan beraneka warna serta bau yang sangat menyengat.
"Punya siapa ini?" gumamku.
"Hei, itu punya saya!" Wanita itu setengah berteriak, dengan langkatmh cepat dia datang menghampiriku.
"Ini pu-punya Ibu?" tanyaku gugup.
"Iya! Kamu dapat dari mana?" tanyanya.
"Di sini, Bu, tergeletak," jawabku pelan.
Ia merebut kantong plastik tadi dari genggamanku, entah apa yang ia lakukan padahal hanya sebuah bunga biasa saja.
Aku masih duduk termenung menunggu kepulangan Bapak, serta Bu Puji dan Ibu masih berbincang-bincang di kamarnya.
"Hei, Adrian! Adrian!" Lelaki tua datang dengan tergopoh-gopoh.
"Pak Haji Rosadi." Aku langsung bangkit. "Ada apa, Pak Haji?" tanyaku cemas, ia tampak sedang mengkhawatirkan sesuatu.
"Adikmu meninggal lagi?"
Alisku bertaut, bagaimana Pak Haji bisa tahu?
"Pak Haji tahu darimana?""Bapakmu telepon Pak Haji. Ayo kamu ikut Bapak. Ada hal penting yang ingin Bapak bicarakan."
"Tapi, Pak, aku izin dulu sama Ibu."
"Tidak perlu, di dalam ada perempuan bukan?"
Aku kembali terheran-heran, apakah Pak Haji memang sering mengintai rumahku? Padahal jarak dari rumahku dan rumah Pak Haji cukup jauh.
"Kok, Pak Haji tahu?" tanyaku dengan penuh keheranan.
"Sudah, jangan dipikirkan. Ayo cepat! Ikut Bapak!"
Ia menarik tanganku dengan paksa dan membawanya ke rumahnya.
"Duduk Adrian," ucap Pak Haji padaku.
"Adrian minum dulu, ya," ucap wanita paruh baya, yaitu istri dari Pak Haji Rosadi memberiku secangkir the hangat.
"Makasih, Bu Haji," ucapku.
"Adrian, ingat betul kata-kata Bapak, ya."
Aku mengangguk walaupun masih bingung apa yang ingin ia bicarakan.
"Ibumu mempunyai taktik ilmu hitam bersama perempuan yang ada di dalam rumahmu ...."
"Apa?! Yang benar saja Pak!" Aku memotong ucapannya dan tak terima jika Pak Haji berbicara buruk tentang Ibu.
"Sstt. Diam dulu, ini rahasia Adrian, nanti Bapakmu akan tak kasih tahu juga."
"Ibumu punya taktik pesugihan, ini akan merenggut nyawa adikmu yang terakhir juga."
Deg!
"Pak, jangan bicara seperti itu!" Aku mencoba membantah apa yang diucapkan Pak Haji Rosadi.
"Kenapa? Kamu tidak percaya? Dan sekarang di mana kuburan adikmu, Asih??"
Aku kembali mengingat di saat Ibu dengan tega mengubur jasad Asih dibelakang rumah lalu kemudian hilang entah ke mana.
"Waktu Bapak baru pulang kami berziarah ke makam Asih Pak," ucapku.
"Makam? Di mana? Coba beritahu Bapak."
Aku mencoba memberitahu padanya bahwa Asih dimakamkan di TPU terdekat.
"Nanti kita sama-sama ke sana bersama Bapakmu," ucapnya.
"Bapak tahu semuanya tentang Ibu? Bapak sedang tidak mem fitnah Ibu kan?" Aku masih tak percaya dengan perkataannya bahwa Ibu mempunyai taktik pesugihan yang merenggut semua adikku.
Ia menghela napas dengan kasar.
"Untuk apa berbohong Adrian?!"
"Kamu akan tahu semuanya, kita akan mengungkap ini semua dari awal mula Ibumu membuat taktik ini."
"Kalau Ibumu memang gila harta, bukan hanya anak yang akan menjadi korban. Namun, semua orang yang terdekat akan menjadi sasaran."
Aku bergidik ngeri, apakah benar Ibu sejahat itu?
"Tapi pakk-""Kamu masih terlalu kecil, tetapi Bapak memang berbicara apa adanya walaupun bukti belum terlihat jelas."
"Apakah aku ikut menjadi korban selanjutnya, Pak?" keringatku mulai bercucuran.
Ia menggeleng. "Kalau itu Bapak tidak tahu, yang pasti adik terakhirmu akan menjadi korban selanjutnya."
"Jadi, artinya semua adikku ...."
"Iya, semua adikmu adalah korban tumbal dari pesugihan Ibumu sendiri, bersama si perempuan itu," jelasnya.
"Maksud Bapak, Bu Puji?" tanyaku.
"Ya!"
Aku mengatur napas yang tersengal-sengal, tak percaya dengan ungkapan Pak Haji. Aku pikir ini semua memang takdir. Dan Asih? Menjadi tumbal pertama pesugihan Ibu?
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...