delapan

736 91 2
                                    

Hyunsuk benar datang dan mengantar ibu Jihoon mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara mereka nanti. Setelah mengambil mobil yang dititipkannya di apartemen Yoshi, Hyunsuk bergegas menuju satu alamat yang ibunya berikan.

Bahkan jika Hyunsuk tidak diberitahukan alamat lengkapnya, ia akan dengan mudah sampai ke tempat. Hyunsuk sudah sering datang ke rumah itu, dulu.

"Hyunsuk apa tidak capek?" tanya Ibu Jihoon sedikit khawatir karena Hyunsuk sedari tadi tidak banyak berbicara dan selalu mengangguk tanpa menolak.

"Aku baik saja, Bu," jawab Hyunsuk dengan senyum tipisnya.

Tentu saja itu adalah dusta, Hyunsuk terlalu lelah untuk melakukan semua hal ini. Seminggu kebelakang semua tenaganya dikuras habis, dan hari ini ia harus pergi dari satu tempat ke tempat lain.

"Kupikir Jihoon akan ikut juga," ujar Hyunsuk.

"Dia akan menyusul untuk fitting baju," jawab Ibu Jihoon. Sedikit menahan senyumnya, menyadari bahwa Hyunsuk mencari keberadaan anaknya. "Hyunsuk, kita tunggu Jihoon disana saja, bagaimana?"

Perempuan paruh baya itu menunjuk sebuah kedai yang terlihat tua. Bukan tua dalam artian jelek, namun lebih ke antik. Sesaat setelah mereka masuk ke tempat itu, sang pemilik yang ternyata masih muda menyapa mereka ramah.

Setelah memesan mereka duduk di meja yang berada di pinggir jendela besar yang menunjukkan jalanan ramai. Hyunsuk tidak pernah sedekat ini dengan Ibu Jihoon. Jadi wajar jika ia canggung dibuatnya.

Meskipun cuaca hari ini cukup terik, Hyunsuk memakai pakaian berlengan panjang. Ia memadukan kaos putih lengan pendek dengan outer berwarna hitam. Sedikit mengutuk dirinya sendiri mengapa harus memilih warna hitam di kala cuaca sepanas ini.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Ibu Jihoon dengan suara lembutnya. Ia menatap Hyunsuk dengan mata yang penuh dengan kasih sayang. Hyunsuk dibuat salah tingkah olehnya.

"Aku baik-baik saja," jawab Hyunsuk, "Ibu sendiri bagaimana?"

"Aku baik, seperti yang kau lihat," wanita itu balas tersenyum pada Hyunsuk. Ada jeda yang panjang sebelum wanita itu membuka mulutnya lagi. "Kau tidak menyesal setelah berpisah dengan Jihoon?"

Hyunsuk mengerutkan keningnya tanpa sadar. Sungguh pertanyaan macam apa yang ia ajukan? Hal apa yang terjadi sampai wanita ini bertanya seperti itu?

"Jihoon nampaknya sangat menyesal," tambah Ibu Jihoon. Pandangannya beralih pada jendela, melihat sekitar yang ramai. "Aku sampai kesulitan menanganinya."

Hyunsuk tidak menjawab. Sungguh ia tidak ingin mendengar apapun mengenai dirinya dan Jihoon dulu. Semuanya sudah ia kubur dalam-dalam. Hal itu pantas dilakukan karena kenangan buruk hanya akan menjadi beban pikirannya saja.

"Tapi, sampai sekarang aku tidak tahu kenapa kalian bisa berpisah," suara penasaran Ibu Jihoon tak dapat disembunyikan lagi. "Aku sebenarnya tidak mau tahu, itu urusan kalian 'kan? Namun, untuk kedepannya, bisakah kalian menekan ego masing-masing?"

Hyunsuk meremas celana jeansnya pelan. Menekan ego, katanya. Mereka–kedua orang tua Hyunsuk dan Jihoon–hanya berpura-pura tahu dan mengerti kondisi dirinya dan Jihoon. Namun tidak ada yang benar-benar memahami hal itu. Hyunsuk muak mendengar semua perintah berkedok nasihat itu.

"Kami, berpisah karena pilihan kami sendiri," Hyunsuk bersuara. Meskipun suaranya tercekat di tenggorokan, ia tetap berbicara. "Aku tidak menyesal pernah berpisah dengan Jihoon, aku merasa sangat bebas setelah bertahun-tahun terkurung bersamanya,"

"tapi, aku tetap sedih. Aku menderita, karena Jihoon yang selalu ada di dekatku tiba-tiba hilang. Susah payah usahaku untuk bangkit dari hal itu. Meskipun sulit dan akhirnya cacat, aku tetap berjalan sampai sejauh ini," jelas Hyunsuk.

happiness? || Hoonsuk || TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang