(2)

637 63 2
                                    

Lim Daejoon. Siswa sekolah menengah atas itu duduk di kursi panjang di depan meja tinggi sebuah kantor polisi. Dengan wajah penuh lebam dan darah yang belum mengering dari ujung bibirnya.

Seorang wanita tua berteriak-teriak di hadapannya. Menunjuk-nunjuk wajah Daejoon dan menyumpahinya dengan berbagai macam umpatan.

"Lelaki sialan ini menggoda suamiku!" ujar wanita tua itu kala seorang polisi mencoba menenangkannya. "Dia bahkan meminta uang padanya dengan nominal yang besar!"

"Aku tidak," suara Daejoon pelan. Ia menundukkan kepalanya sangat dalam, sampai lehernya terasa panas.

"Apa?" desis wanita itu semakin geram.

"Aku tidak pernah meminta uang pada suamimu!" Daejoon balik berteriak. "Dia yang memberikannya padaku! Dia yang memberikannya sebagai uang tutup mulut karena sudah meniduriku!"

Baik para polisi disana dan juga perempuan tua itu terkejut bukan main dengan pengakuan Daejoon. Tapi detik selanjutnya, sang wanita tua itu malah menjambak rambut Daejoon dan berteriak semakin keras. Mengutarakan penolakan atas fakta yang dikatakan Daejoon.

Ini adalah hal biasa bagi Daejoon. Ia terbiasa disumpahi dan diteriaki seperti ini, bahkan diancam untuk dibunuh pun pernah. Luka baru akan muncul tiap harinya. Entah itu luka karena pasangan tidurnya senang melakukan hal-hal kasar atau karena dilabrak oleh pasangan asli dari teman tidurnya.

Sepulangnya dari kantor polisi, Daejoon segera pergi ke minimarket. Membeli tahu putih paling besar yang ada disana. Memakannya dengan rakus. Berharap mitos tentang memakan tahu akan membuang jauh kesialan itu berlaku untuknya. 

Kehidupan Daejoon tak jauh dari sekolah, tempat les dan motel murahan di sekitar distrik lampu merah. Jika di siang hari ia menjadi siswa sekolah menengah atas dengan kecerdasan yang memukau, maka malam hari ia bisa menjadi seorang yang menjual badannya sendiri.

Mewarisi hutang alih-alih harta dari sang ayah sangat memberatkannya. Ibunya yang menikahi selingkuhannya ketika sang ayah tengah sekarat pun tak pernah diketahui keberadaannya. 

Tidak berlebihan jika mengatakan Daejoon adalah orang yang lahir dengan takdir untuk seluruh dunia melawannya. Semua orang mengharapkan kematiannya. Bahkan jika Daejoon meninggal pun tidak akan ada yang menangis di pemakamannya. 

"Park Jihoon! Kembali kau kesini!" teriakan kencang itu sukses membuat Daejoon melepaskan headsetnya. 

"Tolong jangan berisik," tegur guru disana. 

Yang namanya tadi diteriaki tersenyum puas ketika temannya ditegur oleh sang guru. Lelaki itu memilih berjalan santai menuju kubikal belajarnya. Melirik pada Daejoon sekejap dan tersenyum sebagai sapaan.

Daejoon pun balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Ia kembali memasang headsetnya dan memfokuskan pada buku pelajaran dihadapannya. Tak ada waktu baginya untuk bermain-main. 

Ketika seorang guru di sekolahnya memberikan bantuan dana untuk melakukan les di tempat bergengsi demi persiapan ujian masuk universitas, Daejoon tidak boleh menyia-nyiakannya.

Tak sadar kalau yang tadi di sapanya malah menatapnya lamat-lamat. Senyuman singkat Daejoon benar-benar memiliki dampak hebat bagi Park Jihoon. Ia memutuskan untuk mendekati lelaki yang duduk di seberangnya. Meminta nomornya dan mungkin mengajaknya makan malam atau semacamnya.

"Namamu siapa?" tanya Jihoon dengan nafas terengah-engah. Ia berlari mengejar Daejoon yang berjalan cepat.

"Lim Daejoon," ujar Daejoon dengan nada bingung tapi senyum tipisnya mengembang.

Jihoon keheranan karena Daejoon hanya menjawab pertanyaannya, tidak ada pertanyaan basa-basi seperti lalu namamu siapa. Maka dari itu Jihoon mengulurkan tangannya, hendak bersalaman.

happiness? || Hoonsuk || TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang