7. Masih Percaya

431 51 51
                                    

Omelan beruntun Jesika mengalahkan volume lagu yang disiarkan radio.

"Serius, deh. Lo sadar enggak sih, hubungan lo sama Lingga punya masalah?" Jesika multitasking sambil terus fokus pada jalanan di depannya.

"Sadar, Jes," jawab Vilya seperti robot tanpa emosi.

"Terus, lo mau diam aja terus, gitu?" timpal Jesika.

Seluruh pikiran Vilya sudah layaknya benang kusut. Jujur saja, ia malas sekali meladeni pertanyaan Jesika sekarang.

Satu helaan napas terembus dari sela bibir tipisnya. "Terus gue harus gimana? Kan, tadi udah gue jelasin juga, Jes. Semua ini demi Hansa ...."

"Demi Hansa, demi Hansa, demi Hansa! Jujur aja gue dari awal udah enggak terlalu suka sama Lingga, ya. Lo sama sekali enggak diberi kebebasan dalam bikin keputusan buat hidup lo sendiri, sadar enggak sih, Vi?" sambar Jesika tepat sasaran. Membuka lebar-lebar luka di hati Vilya agar wanita itu dapat melihat dengan jelas.

"Gue---"

"Lo tinggal di rumah sekarang gara-gara dia! Lo pindah kerja gara-gara dia! Lo berhenti kerja juga gara-gara dia!" Jesika menyela sekali lagi.

Ucapan Jesika memang ada benarnya. Rumah yang saat ini ditinggalinya bersama Lingga bukanlah rumah impiannya. Namun, Lingga juga ada betulnya saat membuat keputusan tersebut, mengingat jarak kantor lebih dekat dari rumah mereka sekarang ini, ditambah harganya yang jauh lebih terjangkau. Pindah kerja dan berhenti kerja juga jelas bukan kemauan Vilya, tetapi ia tidak pernah meributkan keputusan yang Lingga buat untuknya selama alasan lelaki itu bisa diterimanya dengan baik. Walau harus Vilya akui, lama-lama dirinya juga bisa merasa muak ketika tidak ada satu pun keinginan hatinya dapat memengaruhi Lingga.

"Ya, ada bagusnya juga kan, Jes. Kalau gue enggak pindah kerja, kita enggak bakal ketemu, loh." Vilya menanggapi cerocosan sahabatnya itu dengan candaan disertai kekehan ringan setelahnya.

"Please, gue bahkan yakin, dia enggak tau kalau buah apel yang bikin dia alergi itu buah favorit lo!" Berulang kali, Jesika menembak tepat sasaran. Dan untuk yang sekali ini, Vilya benar-benar kehabisan kata, karena begitulah faktanya.

"Vi, pleaseee, lo harus bisa keluar dari keadaan kali ini. Gue tanya sama lo, siapa cewek tadi? Dari ekspresi lo tadi jelas banget, Lingga selingkuh, kan?"

Vilya menggeleng-geleng pasrah. "Gue enggak tau, Jes. Rasanya Mas Lingga enggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu, gue pengen percaya," jawab Vilya dengan suara melemah. Walaupun sekarang aku enggak yakin apa yang bisa bikin aku buat terus percaya kayak gitu.

"Percaya aja enggak cukup, Vi! Yang kita perlu itu fakta! Faktanya suami lo lagi di kafe sama cewek lain tanpa sepengetahuan lo!"

Tidak ada jawaban dari mulut Vilya. Dalam hati, ia membenarkan perkataan Jesika. Meski sulit, tetapi itu kenyataan.

"Maaf ya, Vi, gue bukannya look down at you. Cumannya kalau gue jadi cowok, gue juga bakal lebih milih cewek tadi. Wanita karir independen, cantik, lihat aja rambutnya yang diklintang-klintong, body-nya hot gitu, ditambah dua kancing kemejanya yang sengaja dibiarin terbuka. Beuhh ...."

Harus Vilya akui, Hanna memang sangat menawan. Tampilan fisik Vilya jelas bukan tandingan perempuan itu. Apalagi setelah berhenti kerja dan melahirkan Hansa, Vilya semakin tidak peduli dengan yang namanya kecantikan fisik. Menjadi ibu rumah tangga yang banyak diremehkan ternyata memang membuat seseorang melakukan banyak pengorbanan tanpa pamrih.

"For God sake, Lingga baru 32 tahun, Vi! Masih usia yang bisa di-hunting orang-orang di luaran sana. Gue harus bilang, apalagi suami lo makin ganteng. Seyakin apa lo sama dia dan lo sendiri? Kalaupun dia masih cinta sama lo, enggak menutup kemungkinan dia cinta sama dua cewek sekaligus!"

Jesika benar-benar berbakat membuat lawan bicaranya mati kutu. Vilya menjadi terus diam dan diam saja, tanpa bisa berkata apa-apa. Selain ungkapan terus terang yang menohok hati, Vilya tidak merasa ada kesalahan apa pun dalam cecaran yang dilontarkan temannya.

"JESSS!!!" pekik Vilya keras sewaktu melihat seorang anak kecil berlarian di depan mobil mereka.

Dalam kurun milidetik, Jesika langsung menginjak pedal rem sampai kandas. Badan dua wanita itu terhentak ke depan, tetapi untung saja tidak terbentur sama sekali. Lebih beruntungnya, mobil di belakang mereka tidak berada dalam jarak dekat sehingga tidak terjadi drama tabrakan.

Baik Jesika maupun Vilya, dada mereka bergerak naik turun dengan tempo cepat disertai napas yang memburu.

"Jes, tolong berhenti bicarain soal gue dan fokus nyetir aja," cetus Vilya yang belum bisa menetralkan diri dari perasaan terkejut.

"Anak itu yang salah loh, Vi. Lo coba lihat deh, kita masih lampu hijau, kok dia main nyebrang aja," protes Jesika tidak terima.

Lensa mata Vilya melirik ke sudut kiri atas melalui kaca jendela. Benar saja, ternyata Jesika tidak melanggar aturan lalu lintas.

Detik berikutnya, mobil di belakang mereka sudah membunyikan klakson panjang. Jesika pun bergegas menjalankan kembali mobilnya.

"Gue serius, lo beneran enggak niat balik kerja? Mungkin aja Lingga sukanya Vilya versi wanita karir, bukannya ibu rumah tangga, kan?"

Pertanyaan terakhir Jesika sebelum Vilya memejamkan mata tanpa menjawab. Rasanya kejadian barusan membuat kepalanya semakin pusing setelah memusingkan masalah rumah tangganya sendiri.

***

Tidak Lingga sangka, pertemuan hari ini akan berakhir melewati jam makan malam. Niat lelaki itu memasuki ruang kerja pribadinya untuk menaruh setumpuk berkas di tangannya batal saat melewati sisi meja makan. Sepasang tungkai bawahnya berhenti mengayun karena mendapatkan beberapa porsi lauk yang sepertinya tidak lagi hangat.

Lingga mengapit dua belah pelipisnya sendiri dengan sebelah tangan yang bebas. Bagaimana bisa-bisanya ia lupa mengabari Vilya ketika daya baterai ponselnya masih lebih dari setengah.

"Vi." Raut menyesal Lingga melekat begitu jelas saat ia melihat istrinya tertidur di atas lipatan tangan sendiri. Tangan lelaki itu terulur guna mengguncang sedikit bahu Vilya. "Vi," ulangnya mencoba membangunkan Vilya agar berpindah ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.

Merasa agak terganggu, Vilya akhirnya bangun. Wanita itu mengusap matanya ringan sebelum mengangkat kelopaknya perlahan. "Mas Lingga baru pulang?" tanya Vilya dengan kesadarannya yang baru setengah terkumpul.

Lingga mengangguk. "Iya. Maaf ya, lupa ngabarin kamu."

Setelah beberapa kedipan mata, seluruh nyawa Vilya akhirnya terkumpul sempurna. "Mas dari mana?" Suara wanita itu mendingin.

Alis tebal Lingga bertautan. "Bukannya udah aku kasih tau semalam, Vi? Aku habis ketemu kli---"

"Klien penting?" potong Vilya.

Kepala Lingga terangguk-angguk sembari membentuk seulas senyum kecil. Lelaki itu tidak mengetahui Vilya bukan lupa, melainkan sengaja menanyakan untuk mengetahui bagaimana respons Lingga. Konklusi yang Vilya dapatkan adalah lelaki itu sama sekali tidak merasa bersalah. Wajah suaminya setenang orang-orang yang berkata jujur. Bagaimana Lingga bisa sekejam ini?

"Oh," balas Vilya. Ia kemudian mengangkat tangan yang sebelumnya diam-diam terkepal di bawah meja. Mengabaikan keberadaan suaminya, Vilya mulai mengambil kangkung terasi kesukaan Lingga ke piringnya sendiri. Wanita itu lalu menyuapkan sayur beserta nasi yang sudah dingin ke mulut.

Perasaan Lingga sedikit teriris melihat pemandangan Vilya yang baru saja makan. Lelaki itu bergegas masuk ke ruang kerja untuk meletakkan barang bawaannya dan kembali ke meja makan sesudahnya. Lingga memutuskan untuk menemani istrinya makan meskipun ia sudah makan bersama yang lain kurang dari dua jam lalu.

***

Sebuah pertanyaan: kalian yang mana?

TIM VILYA 🙊
vs
TIM LINGGA 🙉

Terima kasih sudah membaca! ❤

[Minggu, 12 Juni 2022]

Bersambung ...

Marriage Price TagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang