Prolog

2K 90 30
                                    

Vilya Respati seharusnya merasa sangat bahagia ketika kandungannya tepat menginjak hari pertama minggu ke-36. Apalagi untuk seorang wanita seperti dirinya yang baru diberi karunia setelah tujuh tahun menikah. Namun, rasanya ia sama sekali tidak bisa merasa senang barang sedikit pun. Vilya menyelipkan ibu jarinya di sela bibir. Jantungnya terus berdetak semakin keras seiring bergeraknya anak jarum jam yang tidak berhenti ditatap oleh wanita itu sejak dua jam lalu.

Manik mata warna cokelat milik Vilya sesekali melirik ke arah pintu di belakangnya. Mengapa Lingga tidak bisa dihubungi? Apa masih di kantor? Mengapa tidak mengabariku? Apakah dia berkendara dengan selamat? Apakah dia baik-baik saja? Dan, masih terlintas ribuan kecemasan lain di benak wanita yang sedang mengelus-elus perut besarnya.

Deritan pelan dari pintu bercat kelabu mengusik indra pendengaran Vilya bertepatan saat bergantinya hari. Detik itu juga, Vilya menyorot penuh kekhawatiran ke seorang pria dengan kemeja kusut yang baru saja pulang.

Jarak antara kelopak mata Lingga melebar sejenak, mendapatkan istrinya masih duduk di sofa ruang tamu tengah malam begini. Ekspresi tidak percaya itu segera digantikan dengan lengkungan senyum manis yang menampakkan sepasang lesung pipi di wajah tampannya.

"Kamu belum tidur, Sayang?" Terlepas dari rasa letihnya, Lingga bertanya lembut seraya berjalan mendekati istrinya.

Seperti biasa, Lingga berniat menyematkan kecupan di kening Vilya sebagai pengantar ke alam mimpi. Lelaki itu lantas memajukan badan dan mengulurkan tangan untuk menangkup wajah istrinya. Keterkejutan Lingga tidak dapat ditahan ketika dua tungkai Vilya mendorong dada bidangnya, menghalang Lingga untuk melakukan rutinitas setiap malam.

Sehabis mendiamkan Lingga beberapa saat, Vilya bahkan tidak berniat menjawab pertanyaan suaminya. Sebuah pertanyaan malah melesat penuh tekanan dari mulut wanita itu. "Kamu dari mana?"

Manik mata Lingga bergerak kecil. Tangan lelaki tersebut turun perlahan bersama seutas helaan ringan dari bibirnya. "Maaf. Perusahaan terima proyek baru, aku terpaksa lembur bareng yang lain."

Hening. Vilya menelan bulat-bulat perasaan kecewa, mendengarkan alasan yang sama untuk kesekian kalinya.

"Aku mandi dulu, ya. Kamu jangan lama-lama tidurnya." Lingga beralih mengecup perut buncit Vilya dua detik, sebelum benar-benar berjalan meninggalkan Vilya sendirian di ruang tamu. Ia terlalu malas untuk berdebat dan memaklumi Vilya yang pasti sedang dipengaruhi hormon kehamilan.

Sementara Vilya hanya dapat memandang sendu punggung lebar Lingga di atas kulit sofa yang panas karena ia duduki berjam-jam lamanya. Sesulit itukah Lingga mengerti apa yang membuatnya tidak senang?

***

[Kamis, 2 Juni 2022]

Bersambung ...

Marriage Price TagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang