"Sampai jumpa malam nanti."
Kalimat tersebut jelas hanya sebuah janji kosong yang tidak berarti. Saat Lingga sampai di rumah, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Dilihat dari penampilannya---rambut acak, urat mata memerah, wajah kusam, dan pakaian kusut---lelaki itu sama sekali tidak seperti dalam keadaan yang baik.
Memasuki rumah minimalis satu tingkatan, Lingga tidak mendapati Vilya menunggu di ruang tamu. Wanita itu pasti sudah tidur setelah Lingga mengabarinya akan lembur lagi sore tadi. Memikirkan kata 'lembur', lelaki itu menggusah napas berat. Lingga tidak tahu apakah Vilya masih memercayai alasan yang berulang kali ia lontarkan. Mau bagaimana lagi, Lingga memang terpaksa lembur hari ini. Lembur dalam arti sesungguhnya.
Satu setengah jam yang dihabiskan Lingga untuk menelepon Hanna semalam seakan sia-sia. Semua gambaran detail desain interior yang harus mereka presentasikan besok mendadak hilang tadi pagi akibat malware yang tiba-tiba muncul di perangkat salah satu anggota mereka. Alhasil, saat briefing bersama jajaran manajemen atas, lelaki itu ditegur habis-habisan. Demi menebus kelalaian karyawan di bawahnya selama ia cuti, Lingga harus bekerja ekstra untuk menyelesaikan dua proyek yang seharusnya tidak perlu dikerjakan semendesak ini.
Lingga membuka pintu kamar utama, tetapi tidak mendapatkan istrinya di sana. Ia lalu beralih ke pintu sebelah dan menggerakkan knop pintu perlahan. Melalui celah kecil, Lingga bisa melihat istrinya bernapas teratur di atas matras tipis, sementara Hansa juga terlelap di baby box biru yang berada tepat di tengah-tengah ruangan.
Tubuh letih lelaki itu dibawa kembali ke kamar utama untuk mengambil sesuatu dengan pintu kamar Hansa yang dibiarkan terbuka. Kurang dari satu menit, Lingga sudah keluar bersama gulungan selimut tebal di tangannya. Ia melebarkan celah pintu kamar anaknya perlahan dan melangkah masuk tanpa membuat derap yang memungkinkan dua orang paling berharga dalam hidupnya itu terbangun.
Pelan-pelan selimut tersebut ia sibak untuk melapisi badan mungil istrinya. Seulas senyum terbentuk di bibir Lingga ketika melihat tidur Vilya sama sekali tidak terganggu. Lelaki itu kemudian berjalan dua langkah ke samping untuk mendekati Hansa. Ia menjulurkan setengah badannya dan memberi sebuah kecupan di kening anaknya. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya, Hansa tetap begitu pulas tanpa merasa terusik sedikit pun.
Pandangan Lingga beralih menatap lurus ke arah Vilya. Tanpa bisa menahan diri lebih jauh, lelaki itu kembali mendekati istrinya dan menyematkan sebuah kecupan ringan di dahi wanita itu juga. Sebuah rutinitas yang telah lama terhenti karena penolakan Vilya.
Tangan Lingga terulur secara lembut menepikan helain anak rambut yang tergerai menghalangi wajah cantik Vilya. Ia memandangi lamat-lamat wajah itu sesudahnya. Kantong mata Vilya tampak lebih jelas dari yang pernah ia lihat. Pipinya juga tidak lagi setembam terakhir kali Lingga tangkup.
Ada guratan kelelahan di sana. Bagaimana Lingga tidak menyadari semua perubahan itu?
Maaf, Vi, aku pasti bukan seorang suami yang baik buat kamu.
"Aku mencintaimu," bisik Lingga sebelum meninggalkan istri dan anaknya untuk membersihkan seluruh badan yang terasa lengket.
***
Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Vilya menjadi yang pertama bangun, menyiapkan pakaian kerja Lingga, dan memasak sarapan.
Namun, ada yang aneh setelah itu. Vilya baru keluar dari kamar Hansa usai membiarkan anaknya tertidur kembali. Alisnya menukik tajam sewaktu melihat Lingga masih duduk santai di meja makan ketika jam digital di ponselnya sudah menunjukkan lewat dari pukul sembilan. Sebelah tangan lelaki itu masih sibuk menggulir layar tab, sementara satu tangan bebasnya mengangkat gelas kopi yang kemudian ia sesap sedikit isinya.
Vilya mendekati meja makan untuk menuntaskan sarapannya yang belum selesai karena diinterupsi kerewelan Hansa tadi. Wanita itu duduk di kursinya dan mulai menyendokkan sesuap demi sesuap nasi goreng dengan wangi mentega ke mulutnya.
"Mas enggak kerja hari ini?" Vilya akhirnya bertanya, tidak kuasa menutupi rasa penasarannya lagi.
Wajah Lingga terangkat sambil menarik seulas senyum lebar. Ada perasaan senang bercampur lega saat Vilya berinisiatif membuka suara untuk menggali sesuatu dari dirinya.
"Ada, Vi," balas Lingga sekenanya.
Merasa tidak puas dengan jawaban suaminya, Vilya mengajukan pertanyaan selanjutnya. "Terus, kenapa belum pergi?"
Lagi-lagi, Lingga tidak dapat menahan senyumnya. "Aku pergi siangan hari ini, Vi." Lelaki itu memang memutuskan berangkat ke kantor lebih terlambat, sebab kehadirannya memang tidak terlalu dibutuhkan hari ini, mengingat sebagian besar timnya tidak berada di kantor untuk sesi presentasi yang diwakilkan Hanna. Selain itu, masih ada satu alasan lain.
"Oh." Vilya mengangguk dua kali dan melanjutkan aktivitasnya.
"Kamu enggak mau tau alasannya, Vi?" Lingga memancing istrinya untuk berbicara lebih banyak lagi bersamanya.
Selesai menelan hasil kunyahannya, Vilya baru membalas, "Emang kenapa?" Muncul kernyitan kecil di dahi wanita itu.
Lingga bahkan tidak perlu mempertimbangkan ulang untuk membuat keputusan ini setelah memerhatikan wajah pulas Vilya semalam. "Aku lagi tungguin ART yang baru aku pekerjakan buat ringanin beban kamu, Vi. Katanya kira-kira jam sepuluh, sih, sampainya." Lelaki itu tersenyum sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.
Vilya langsung menghentikan aktivitas menyendok saat penjelasan Lingga masuk ke indra pendengarannya. Sekali lagi, lelaki itu membuat keputusan tanpa sekadar menanyakan persetujuan darinya.
Raut wajahnya mendingin saat dibawa menengadah untuk menatap wajah Lingga. "Aku enggak butuh." Vilya menekan perkataannya.
Ekspresi Lingga berubah sedikit tertekuk. "Aku tau, Vi, tapi biar kamu enggak kecapekan aja, mesti urusin Hansa sama seisi rumah ini."
Tanpa memberi kesempatan Vilya untuk menyela, Lingga melanjutkan, "Kamu enggak usah khawatir soal finansial, Vi. Gaji yang aku dapet sekarang hitungannya udah dua kali yang dulu, gara-gara proyek baru perusahaan dipercayain ke aku." Lelaki itu kemudian menarik sebuah senyum simpul.
Dalam hati, Vilya tidak percaya dengan apa yang baru dilontarkan Lingga. "Menurutmu aku lagi mengeluh soal keuangan, Mas?" tanya wanita itu bersungguh-sungguh.
Lingga mengerutkan alisnya. Ia benar-benar tidak bisa mengerti apa yang ada di pikiran istrinya. "Jadi, apa kalau bukan itu?"
Sepasang netra Vilya terpejam sesaat, merasakan getaran amarah di dalam dirinya yang membuat darahnya berdesir kian cepat. Akan tetapi sebelum ia mampu menyuarakan apa pun, bunyi bel terdengar di seluruh penjuru rumah. Vilya bahkan berjaga-jaga kalau saja Hansa akan terbangun lagi karena merasa ada yang mengganggu.
Lingga terlihat semringah kala ia berdiri dari duduknya. "Itu kayaknya udah sampe, Vi." Lelaki itu segera menuju pintu, sementara Vilya masih berdiam diri di atas kursi bersama segenap emosi yang memorak-porandakan hatinya.
***
Bab ini agak panjang ya, semoga enggak keburu bosan hehe. Karena jumlah words-nya lebih banyak, komentarnya juga, kan? #eh wkwk.
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini ❤. Aku akan sangat senang apabila kalian menikmati cerita ini dan menambahkannya ke dalam reading list 😄.
Sekali lagi, terima kasih banyak! Sampai jumpa di bab berikutnya 🤗.[Senin, 06 Juni 2022]
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Price Tag
РомантикаOrang mengatakan tahun ke-7 pernikahan adalah tantangan terberat sepanjang kehidupan rumah tangga yang akan menjadi penentu 'bersama sampai akhir' atau 'berpisah di sini'. Vilya Respati masih tinggal di bawah satu atap yang sama dengan suaminya, Lin...