12. Rindu yang Pekat [3]

484 49 40
                                    

Bab ini panjang, jangan lupa bubuhi dengan banyak komentar yang selalu mampu jadi moodbooster-ku . Terima kasih masih membaca sejauh ini.

Btw, aku ragu kalian ada yang bacanya part-nya kelompat gitu. Soalnya ada yang biasanya semua bab pada di-vote, tapi kemarin ada yang kelangkah. Cuma mau kasih tau, barangkali mau diperiksa supaya tidak kelompatan isi ceritanya hehe 🥰.

Selamat membaca!

***

Sudah lama Vilya tidak tidur di atas ranjang yang sama dengan suaminya. Melihat Lingga berada tepat di samping tempat ia akan berbaring, ada puluhan jenis emosi terpantik serentak dalam dirinya. Hanya ada mereka, berdua. Hansa tidak turut menempati kamar terdahulu Vilya karena kakek neneknya ingin puas bersamanya malam ini.

Vilya menelan ludah sedikit gugup sebelum ikut berbaring.

Dalam kurang dari satu menit, Lingga mengganti posisi untuk tidur menyamping. Punggung lelaki itu agaknya tidak nyaman dibuat menempel ke permukaan kasur usai kejadian siang tadi.

Sadar akan pergeseran suaminya, Vilya ikut tidur menyamping, membiarkan punggung mungilnya menghadap Lingga. Mendapat respons Vilya yang seperti itu, sekelumit perasaan kecewa Lingga menguar tanpa izin. Setidak nyaman itukah Vilya tidur berdampingan dengannya?

Lingga mengembuskan napas pelan. Lelaki itu lalu bangkit dan memilih keluar kamar. Meski rasa kantuk ringan mulai mendera Lingga, lelaki itu merasa ada baiknya ia pergi menikmati angin malam sementara menunggu Vilya terlelap lebih dahulu.

Mendengar suara pergesekan bilah besi engsel pintu kamar sebelah, Puspa dan Herman yang belum tidur saling melirik sebentar sebelum keduanya meninggalkan kamar. Hansa dibiarkan tetap tidur di tengah-tengah kasur luas dengan kawanan bantal serta guling membatasi sekeliling, menjaganya agar tetap aman.

Ketukan pintu sebanyak tiga kali membuat Vilya mengerutkan alis heran. Kenapa Lingga tiba-tiba berubah formal?

Apa pintu kekunci?

Pemikiran tersebut membuat Vilya berjalan mendekati arah suara ketukan ringan yang kembali terdengar, walaupun ia merasa aneh bagaimana pintu kamar bisa terkunci mendadak.

"Ibun?" Vilya berucap dengan nada bertanya begitu helai pintu yang nyatanya tidak terkunci ia tarik. Matanya melebar beberapa milimeter.

Puspa menarik seulas senyum. "Lya udah tidur, ya?"

Kepala Vilya menggeleng-geleng pelan. "Ibun, masuk," ajak Vilya membuka celah lebih lebar.

"Nak Lingga enggak di kamar?"

Pertanyaan ibunya membuat Vilya kembali menggelengkan kepala.

Puspa mengedar pandangan ke setiap sudut ruangan yang ia rawat dengan baik selama tidak dihuni. Wanita setengah baya itu lalu berjalan ke arah ranjang dan duduk di bagian samping. Sehabis manik netra wanita itu berpendar sana sini beberapa saat, ia berbicara sambil menatap dalam ke iris cokelat Vilya yang diwarisi olehnya. "Ada yang ingin Ibun tanya ke kamu," ujar Puspa.

Nada tegas di dalam perkataan ibunya membuat Vilya mengernyit penuh tanda tanya. "Kenapa, Ibun?"

Tanpa basa-basi, Puspa langsung bertanya ke inti. "Kamu punya masalah sama Nak Lingga?"

Satu pertanyaan itu telak memghantam langsung ke ulu hati orang yang dituju. Darah Vilya mendesir hebat. Memang sulit membohongi seorang ibu. Sejak kedatangannya sampai saat ini, Vilya yakin ia telah berusaha maksimal untuk bersikap sewajarnya tiap kali bersama Lingga. Inilah alasannya ia enggan bermalam di Bekasi.

Marriage Price TagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang