11. Rindu yang Pekat [2]

409 45 11
                                    

Selesai mengobrol beberapa lama di ruang tengah tadi, Vilya dan Puspa pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, sementara Hansa dijaga oleh Fitri. Sedangkan Lingga dan Herman, dua pria itu pergi ke halaman belakang rumah untuk menuju sebuah ruangan yang dipisahkan tembok buntu. Terdapat sebuah meja biliar tua di sana.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, mereka sudah bermain beberapa ronde tanpa mengetahui siapa memenangkan lebih banyak putaran. Mereka hanya bermain untuk melepas penat, bukan bertanding serius. Sebab Lingga gagal memasukkan ke kantung bola terakhir sebelum bola 8, permainan pun bergilir ke ayah mertuanya.

"Bapak masih ngajar?" tanya Lingga bertepatan saat Herman akan menyodok bola ke-dua.

Pria setengah baya itu fokus mengarahkan cue ball dan berhasil memasukkan bola lain. Senyum senang terukir di bibir tipisnya sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan Lingga. "Sudah berhenti."

Lingga tidak terkejut, tetapi ia sangat menyayangkan ayah mertuanya harus berhenti satu tahun lebih awal dari usia pensiunnya. Padahal Lingga tahu seberapa pria itu mencintai pekerjaannya.

Melihat ekspresi menyesal Lingga, Herman segera menimpal, "Bukan karena masalah itu. Lagi pula, sudah kamu bantu Bapak tuntaskan kemarin. Bapak memang mengundurkan diri atas kemauan sendiri."

Anggukan pelan kepala Lingga menunjukkan bahwa lelaki itu mengerti dengan keputusan ayah mertuanya. Bagaimanapun, Lingga yakin pasti tumbuh perasaan tidak nyaman berprofesi sehabis dibuat keluar-masuk kantor hukum berulang kali.

"Makan malam sudah siap." Sedesibel suara perempuan menginterupsi kegiatan dua pria itu.

"Ayo, kita makan," ajak Herman yang lantas meletakkan tongkat biliar di sudut ruangan. Lingga mengangguk setuju dan mengikuti jejak ayah mertuanya.

"Jadi, kita makan apa malam ini?" tanya Herman kepada anaknya yang berjalan lebih dahulu di depan mereka.

Vilya menoleh sedikit ke belakang. "Tenang, ada ikan gulai kesukaan Bapak."

Perasaan getir perlahan merangkak ke hati Lingga ketika ia melihat senyum sempurna membingkai wajah Vilya. Lingga tidak ingat kapan terakhir kali ia mendapat lengkungan bibir setulus itu. Barangkali hampir setengah tahun lalu.

Sewaktu tiga orang itu menapak di ruang makan, Puspa sudah duduk di salah satu kursi, menunggu kedatangan mereka. Herman kemudian menarik kursi di sebelah istrinya, sementara Vilya mengambil tempat di seberang ibunya, diikuti Lingga yang duduk di sampingnya.

Masih dalam posisi berdiri, Vilya menarik piring-piring yang sudah disediakan di atas meja dan mulai mengisi satu per satu dengan nasi untuk dibagikan kepada semua orang. Selesai dengan kegiatan tersebut, Vilya mengambil beberapa lauk ke piring ibu serta ayahnya tanpa mengatakan apa pun.

"Mas mau orek tempe?"

Baik Puspa maupun Herman agaknya terkejut karena Vilya tiba-tiba bertanya dengan nada yang cukup dingin. Terlebih, biasanya Vilya tidak mengajukan pertanyaan saat ingin menyendokkan lauk kepada mereka. Vilya juga sudah hafal apa saja yang dimakan dan tidak dimakan mereka bertiga. Pasangan paruh baya itu saling melirik sejenak. Sedikit banyak, rasa curiga muncul di benak keduanya.

Lingga mengulas sebuah senyum kaku. "Nanti aku ambil sendiri aja, Vi," balasnya setenang mungkin.

Tanpa menghiraukan lebih jauh, Vilya benar-benar tidak menyendokkan lauk kepada Lingga. Wanita itu mengambil sayur untuk dirinya sendiri, kemudian langsung duduk dan menikmati makanannya.

"Tadi kata Fitri, prediksi cuaca malam ini bakal hujan deras. Gimana kalau kalian nginap sini saja malam ini?" usul Puspa tiba-tiba di tengah kegiatan makan malam mereka.

"Lingga besok mesti kerja, Ibun," tolak Vilya halus.

Mendengar namanya disebut, Lingga buru-buru menelan hasil kunyahan setengah sempurnanya. "Besok biar aku ambil cuti aja, Vi. Lagian kerjaan di kantor lagi agak senggang," jelasnya pelan. Sepasang netra lelaki itu menyorot lembut kepada Vilya. Lingga menyadari seberapa sering istrinya menampakkan senyum lepas selama mereka berada di sini ketimbang saat mereka di rumah sendiri. Ia hanya ingin memberikan Vilya lebih banyak waktu untuk merasa bahagia.

Lingga lalu beralih menatap ibu mertuanya. "Boleh, Ibun. Tapi ... enggak ganggu Ibun sama Bapak?" tanya Lingga tidak enak hati.

"Enggak dong. Malah Ibun sama Bapak makin senang kalau rumah makin rame," bantah Puspa cepat dan menyertai seulas senyum lebar setelahnya.

Diam-diam dua telapak tangan Vilya mengepal di atas paha hingga menampakkan dengan jelas ruas-ruas jarinya. Sampai kapan Lingga akan terus membuat keputusan sendiri? Apakah pemikiran Vilya terlalu tidak penting untuk paling tidak ditanyakan lelaki itu?

***

Halo, semoga hari pertama bulan Juli kalian menyenangkan dan semoga bab ini cukup menghibur☺.

Terima kasih ya masih bertahan sejauh ini! Sampai jumpa di bab berikutnya. ❤

[Jumat, 1 Juli 2022]

Bersambung ...

Marriage Price TagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang