Hujan Ketujuh; "That's should be me holding your hand."

29 3 0
                                    

Maret, 2014

Hujan kembali mengguyur. Rintik-rintik angkasa masih sering membasahi Bumi di tengah cuaca yang tak menentu. Lavi berteduh di depan salah satu kios buku yang sudah memasuki jam tutup, sendirian tanpa kawan, hanya ditemani tas kuliah dan segala isi di dalamnya.

Kehidupannya setelah lulus dari SMA sedikit berbeda. Tak ada Rhys yang terbiasa duduk di belakang bangkunya, atau Vesta yang menjadi sumber pemisah ketika keduanya bersama. Atau bahkan Niscala, yang baru-baru ini diketahuinya menjelma menjadi pengagum rahasia. Anak-anak remaja itu bertumbuh di jalannya masing-masing, mengepakkan sayap dengan caranya sendiri, meninggalkan segala kehidupan putih abu-abu dan banyak kenangan yang terjalin.

Sebenarnya, Lavi tak keberatan dengan hujan. Sudah berkali-kali dia menerobos rintik-rintik nakal yang membuat segalanya basah, mengesampingkan seluruh akibat seperti flu dan demam yang akan menjangkit di keesokan hari. Namun hari ini, tampaknya berlarian di tengah hujan bukan sesuatu yang patut untuk dijalankan.

Tasnya tak anti air. Barang-barang penting seperti buku, ponsel, headset kesayangan, bisa rusak terkena bulir-bulir bening yang jatuh tanpa permisi. Jadi lebih baik berteduh, menunggu sementara waktu hingga cuaca sedikit kehilangan awan kelabu.

Gadis itu melirik jam tangan. Pukul 16:00. Seperti rutinitas harian, dia menancapkan headset pada handphone, lalu masuk ke mode radio yang tertera di menu layar. Saluran yang sudah dihafalnya di luar kepala kini mengalun, memperdengarkan suara seorang laki-laki yang mendadak membuatnya kecewa.

"PJ enggak siaran. Tumben, sih? Biasanya jam empat," gumamnya. Hebat! Bahkan dia hafal jadwal-jadwal si Penyiar yang sangat dikaguminya.

Dia kembali mencabut kabel kesayangannya, mengalungkan benda biru panjang itu ke sekeliling leher, karena terlalu malas untuk sekadar menggulung secara rapi dan menyimpan dalam tas.

Di hari-hari biasanya, Lavi akan menyumpal kedua telinga ketika jam menunjukkan pukul empat hingga enam sore, melakukan segala aktivitas ditemani alunan suara PJ, juga lagu-lagu yang akan diputar. Sesekali tertawa kesenangan ketika pesan yang dikirimnya dibacakan keras-keras, kagum sendiri dengan cara PJ ketika membaca SMS-nya, "Ada Lavi yang mau request lagunya Justin Bieber, That Should be Me. Salamnya buat Kak PJ, that should be me holding your hand, Kak."

Kemudian dia akan terkikik girang ketika si Penyiar merespons dengan ucapan, "That should be me holding your hand, Lavi! Sini, yuk! Kita holding-holding-an."

"Masa siaran malam, sih? Mungkin tukar jadwal sama Ian, ya. Ian biasanya siaran Obat Tidur, tapi tiba-tiba sekarang muncul di Sore Biru."

Anak itu bergumam lagi, masih menerka-nerka tentang absennya PJ dari program Sore Biru, yang biasa terlaksana dari pukul empat hingga enam.

Untuk sekian detik yang lama, akhirnya dia memutuskan sibuk dengan ponsel, mengecek di sosial media, menyambangi akun @PJakjadian yang sudah sangat sering diintipnya.

Tak ada pembaruan status. Terakhir tampak berinteraksi dengan salah satu teman di hari ini pukul dua siang. Sebenarnya, menghilangnya PJ bukan termasuk dalam salah satu urusan Lavi, tetapi dia masih mengedepankan rasa kagum (kata Rhys, sih, halu) pada sang Penyiar. Jadi, hampir 24/7 hidupnya dihabiskan untuk memantau akun sosial media milik PJ. Seperti penguntit, tetapi dalam taraf tidak barbar.

Pemberitahuan di ponsel menandakan adanya sebuah pesan masuk. Dari Rhys, yang menanyakan keberadaannya saat ini. Sekadar informasi, berpisah kampus tak membuat hubungan Rhys dan Lavina ikut melonggar. Mereka masih sering berkomunikasi, sering bertemu, bermain bersama, menonton, dan segala hal yang dulunya selalu dilakukan berdua. Persahabatan mereka memang patut diacungi banyak jempol.

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang