Hujan Keenam Belas; "Cinta itu aneh. Iya, 'kan?"

17 3 0
                                    

September, 2014

 


Semesta kembali menangis di pertengahan September yang panas, membuat Bumi basah oleh air mata awan yang datang secara tiba-tiba. Mungkin, langit sedang dilanda sedih hati, atau baru putus cinta dan semacamnya, hingga menciptakan rintik-rintik hujan di antara sengatan sinar surya.

     Dan karenanya, Kala terhalang di salah satu toko buku. Dia tak bisa begitu saja menerobos hujan, mengingat jas pelindung yang biasa dibawa ke mana-mana saat ini teronggok nyaman di salah satu lemari kamar. Memasuki musim panas begini, sepertinya suatu tindakan yang lucu jika harus memboyong jas hujan untuk bepergian. Namun, siapa yang mengira bahwa bulir-bulir langit itu akan datang dengan sangat-sangat mendadak seperti sekarang? Suatu pelajaran yang tak akan dilupakannya. Persiapan, se-memalukan apa pun kelihatannya, tetap dapat menyelamatkan.

     Pemuda itu memperhatikan jalanan, sembari berdiri diam di sudut toko. Tangan kirinya menggenggam kantong cokelat belanja, berisikan dua buku yang sangat dibutuhkan untuk keperluan kuliah. Tas selempang hitamnya tergantung, menyampir ringan di tubuh sebelah kanan. Pandangannya mengedar, menunggu rintik-rintik langit memelan dan membuatnya bisa kembali ke rumah.

     Bukan saat yang tepat untuk berteduh, sebenarnya. Tugas yang menumpuk terus-menerus mengingatkannya untuk menerobos hujan. Jika tak ingat dengan barang-barang berharga yang bisa rusak karena air, dia pasti sudah melakukannya.

     Orang-orang berbondong-bondong menepikan motor, ikut berlindung di tempat yang sama—sekalipun mereka bukan pengunjung toko. Rupanya alam raya tak menghendaki Niscala untuk pulang cepat hari ini. Terbukti dari menderasnya gerimis, mengundang lebih banyak tubuh yang turut berteduh di tempat yang sama.

     “Harusnya, ini jadi kesempatan buat karyawan toko. Lumayan kalau buku-bukunya bisa laku dua biji,” gumamnya, pada diri sendiri.

     Jika dipikir-pikir, ucapannya barusan ada benarnya. Mengandalkan aji mumpung karena teras toko sedang ramai, harusnya salah satu karyawan mulai membuat pamflet kecil-kecilan, bertuliskan, “Diskon 40% bagi Mbak-Mbak dan Mas-Mas yang sedang disergap hujan. Yuk, beli buku! Murah, lho!”

     Strategi marketing yang cukup unik.

     Kala tersenyum sendiri memikirkan usulan random-nya, tetapi segera berjingkat kecil ketika merasakan ponsel di saku celananya bergetar. Dengan cepat, dia merogoh kantong, mengeluarkan benda mungil yang wajib dibawa ke mana-mana.

     Persepsi awal, sepertinya salah satu teman kampus mengirim SMS, menanyakan perihal tugas juga buku yang sekarang telah ada di tangan. Namun, siapa yang mengira, bahwa seseorang yang mengiriminya pesan ternyata bukanlah insan yang dimaksud?

     Layarnya menampakkan nama Lavina, membuat Kala sontak mengembangkan senyum tanpa dapat dicegah. Apalagi, ketika membaca isi pesan yang diterima.





     “Lo masih di luar? Hujan, ih! Jangan diterobos, ya.”

 




     Kalimat singkat yang cukup untuk menghangatkan hati di sore mendung begini. Pemuda itu mengetikkan balasan dengan cepat, tak henti tersenyum karena begitu gembira.

     Sungguh, dia tak pernah menyangka kedekatannya dengan Lavi akan berlanjut dalam taraf semacam ini. Dulu, niat hati hanya ingin mengutarakan rasa, tanpa menuntut untuk balik disuka. Namun, ternyata Tuhan memilihkan kisah yang jauh lebih indah ketimbang sekadar menyatakan cinta secara sepihak.

     Beberapa bulan berlalu seperti itu antara dirinya dan Lavina. Bertukar pesan, perhatian-perhatian kecil, basa-basi ringan, sampai saling curhat tentang sesuatu yang mengganggu hari. Ponsel menjadi barang yang sangat berharga bagi Kala, sebagai perantara segala ucapan, “Selamat pagi!”, “Have a nice day!”, “Gimana harinya?” dan banyak lagi. Dia suka tiap Lavi mulai menampakkan keceriwisan, menceritakan segala yang terjadi di hidup. Sungguh menyenangkan.

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang