Hujan Ketiga Belas; "Sweet revenge is a good way to do."

18 4 0
                                    

Juni, 2014

 


Hujan mengguyur di tengah kegersangan bulan Juni. Sisa-sisa musim dingin masih ada, masih membekaskan bulir-bulir angkasa yang bertandang sesekali, dalam intensitas tak seberapa deras. Hanya gerimis ringan, tetapi tetap mampu membuat jalan-jalan kering menjadi kuyup, halaman-halaman penuh tanah menjadi becek. Cuma rintik-rintik kecil, tetapi tetap mampu membawa kesenduan bagi insan yang sedang dilanda biru.

     Seperti suasana di dalam kamar Novesta saat ini. Suara hujan memenuhi indra pendengaran milik si gadis, menjadi satu-satunya kawan di tengah sela tangis yang belum mereda. Hanya isak tanpa suara. Ringan, se-ringan gerimis di luar jendela. Namun tetap, tak ada yang benar-benar ‘ringan’ jika menyangkut tentang kepedihan hati.

     Hubungannya dengan Rhys resmi berakhir dari beberapa bulan lalu, tetapi rasanya dia tak bisa lupa. Selalu terpatri dalam otak, bagaimana cara pemuda itu memperlakukannya bak Dewi, mengutamakannya di atas segalanya. Bagaimana sesosok laki-laki sederhana nan humoris, jauh dari kata romantis, mampu membuatnya tertawa di hampir tiap menitnya.

     Vesta bukannya mengharap segala yang usai akan diraih kembali. Itu sama saja menyakiti hati Rhys hingga berkali-kali lipat. Dia hanya merindu, pada segala tatap teduh yang hanya ditujukan untuknya. Pada segala tutur lembut penuh damba yang hanya diberikan padanya. Pada cara lelaki itu mengusap air mata, ketika dia menangis seperti kala ini.

     Semua karena Elazar, lagi. Segala tangis dan kepedihan yang dirasakannya selalu berkaitan dengan Elazar. Sungguh lucu semesta mempermainkan hati para manusia. Insan yang dicinta sering kali menjadi alasan utama dibalik tersayatnya luka yang telah menganga, memberikan perasan jeruk pada goresan yang belum mengering. Perih sekali. Namun, atas nama cinta dan segala omong kosongnya, Vesta tetap menerima. Seperti selalu.

     Elazar tetap sama. Tetap sering bersikap tak acuh. Bedanya, sejak kejadian terakhir bersama Rhys di depan pagar rumah dikala hujan mendera dua bulan yang lalu, laki-laki itu semakin menampakkan ketidakpedulian. Dia terang-terangan mengabaikan, tanpa lagi berpegang pada tugas yang menggunung. Terang-terangan berujar dengan santai, “Aku lagi jalan sama Ica.” Atau Revita. Atau Anya. Atau siapa pun nama perempuan-perempuan yang disebutkannya.

     Pun begitu dengan hari ini. Nama gadis lain kembali disebut, membuat Vesta dilanda sakit hati yang sama.

     “Aku lagi di rumah Nia. Tadi habis antar dia beli bubur, terus tiba-tiba hujan.”

     Dan, Novesta memberanikan diri menjawab, “Sampai kapan kamu mau terus-terusan jalan sama mereka, sementara kamu enggak pernah ada waktu buat aku?”

     Sialnya, pihak seberang menanggapi dengan santai. Kelewat santai. “Lho, kenapa? Kamu aja bisa selingkuh sama Rhys. Kenapa aku enggak bisa?”

     Sudah. Vesta akan selalu kalah jika kekasihnya mengungkit yang satu itu. Dia akan selalu menjadi pihak yang bersalah, yang memang pantas diperlakukan begitu sebagai tindak balas. Padahal, mana tahu jika ternyata Elazar sudah memulainya lebih awal, mengatasnamakan tugas dan para dosen sebagai perlindungan bagi tindak nakalnya? Kekejaman semesta, hampir selalu memberikan seseorang yang sempurna dengan segala kecacatan sikap.

     Itulah yang mendasari tangis pada mantan pacar Rhys sore ini. Dia menangis karena tak bisa membela diri, menangis karena menyesal, menangis karena tak akan pernah bisa membenci Elazar, sesering apa pun pemuda itu menorehkan pisau pada jantungnya. Menangis, karena harus mencintai sosok laki-laki semacam itu, sementara ada Rhys yang sudah didepak jauh-jauh. Astaga, dia tak pernah mengira bahwa mencintai seseorang akan sebegini melukainya.

     Terlebih, ketika sosial media bergambar burung biru itu semakin menambah sengatan yang telah dirasakannya. Elazar mengunggah sebuah foto, dirinya bersama seorang perempuan yang tadi disebut Nia.

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang