Hujan Kedelapan; "Thanks karena selama ini selalu ada buat gue."

19 4 0
                                    

Maret, 2014

Gerimis mengguyur di siang yang semula panas, menyamarkan sinar mentari menyengat yang sebelumnya cukup untuk membuat manusia-manusia mengeluarkan keluhan. Cuaca berganti secepat insan membalik telapak tangan. Tak dapat ditebak, tak dapat diprediksi, tiba-tiba datang dan mendadak pergi.

Lavi ada di depan gerbang fakultasnya saat ini, tak melakukan apa pun selain duduk di salah satu bangku panjang, menatap layar ponsel dengan harap-harap cemas. Satu minggu berlalu setelah kejadian tengah-malam-bersama-pesan-dari-PJ. Mereka bertukar nomor PIN BBM, memudahkan berkomunikasi dan melakukan janji seperti saat ini. Janji headset, Lavi menyebutnya begitu.

Selama seminggu ke belakang, tingkahnya sudah mirip seperti gadis-gadis SMA yang baru saja kena jampi-jampi. Semringah di setiap kondisi, sekalipun ada dosen yang sedang memarahinya karena terlambat menghadiri kelas. Tersenyum pada teman-temannya, pada pohon, pada kursi taman, pada kucing jalanan, pada tembok, semuanya. Hatinya terlalu dipenuhi bunga. Bertukar pesan dengan PJ mampu membuatnya seratus persen menjadi pribadi periang.

Tingkah mereka benar-benar mirip seperti sepasang manusia yang sedang melakukan pendekatan. Bertanya kabar hari itu, sudah makan atau belum, sedang apa, dan sejenisnya. Rasanya dia tak perlu lagi mendengarkan Rexco, karena salah satu manusia yang bekerja di sana sekarang sudah berada dekat, sering memberikan perhatian, mengirim voice note. PJ-si-penyiar-idola mendadak berubah menjadi PJ-si-teman-dekat dan berbagi kisah harian. Sungguh alur yang tak bisa disangka.

"Lo paham rasanya, 'kan? Ibaratnya, lo adalah penggemar berat Ariana Grande. Dan tiba-tiba, si Ariana ini jadi dekat sama lo. Sering kirim chat, tanya kabar, kirim voice note, kadang telepon. Lo paham rasanya, 'kan, Riska?" celotehnya pada Rhys beberapa hari lalu. Dia sudah menceritakan perihal PJ, selengkap-lengkapnya. Tak ada yang ditutupi.

Namun, tidak. Rhys tidak paham. Karena baginya, Ariana Grande dan PJ itu berbeda. Dia juga tak terlalu tertarik dengan dongeng per-PJ-an yang selalu disemburkan Lavi, lengkap dengan taburan bubuk permen merah muda yang mungkin bisa membuat si pendengar merasa, "Wah, manisnya!"

Rhys Orion bukan tipe penggemar romantisme. Namun dia tetap mengiakan, tak menyangkal atau mengejek seperti saat lalu. Biar saja temannya hilang dalam delusinya sendiri, menganggap PJ adalah seorang kawan, atau sahabat dekat, atau bahkan pacar. Suatu saat juga kenyataan yang akan menyadarkan.

Kembali pada hari ini, Lavi tetap diam di tempat. Tetap menatap layar ponsel yang belum menunjukkan notifikasi apa pun. Hanya beberapa detik, sebelum akhirnya sebuah panggilan masuk membuat benda elektronik di telapaknya bergetar ringan.

Alih-alih merasa lega karena yang ditunggu akhirnya tiba, Lavi sedikit melengos kecewa. Seseorang yang tak diharapkan sedang menelepon di saat yang kurang tepat; Rhys.

"Gue kira PJ," gumamnya, sebelum akhirnya menekan tombol jawab, "Halo?"

"Di mana, Lav?" tanya pemuda di seberang. Tumben sekali anak itu siang-siang begini mencarinya. Di hari sibuk, pula. Pasti ada sesuatu.

"Kampus," jawab Lavi. "Kenapa?"

"Pulang jam berapa? Gue jemput, ya."

Si Gadis tampak mengernyitkan kening bingung. Suara Rhys betul-betul terdengar berbeda saat itu, tak menyebalkan seperti biasanya. "Gue lagi tunggu PJ, Rhys. Lo kenapa? Bertengkar sama Vesta?"

"Enggak," jawab yang ditanya, singkat. Dia diam beberapa detik, sebelum kembali berucap, "Nanti kira-kira lo ada di rumah jam berapa? Chat gue, ya. Gue mau main."

"Wah! Enggak beres, nih!" Lavi mulai tertarik. "Kalian bertengkar, 'kan? Kenapa? Lo diputus?"

"Enggak. Jangan sok tahu," cibir Rhys. "Lo ketemu PJ dulu, deh. Nanti chat gue, ya. Jangan aneh-aneh."

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang