Hujan Kesembilan Belas; "Kita janjinya cuma berdua, 'kan ... "

26 3 2
                                    

November, 2014

 

Mentari bersinar terik di angkasa, cukup untuk membuat jalan-jalan mengalami tingkat kegersangan di atas rata-rata. Panas menyengat yang dihasilkan oleh sinar surya agaknya menjadikan para manusia butuh berlindung di dalam rumah lebih lama, berdiam di depan pendingin seraya menenggak es krim matcha yang dapat menyegarkan. Berjalan-jalan di tengah suasana gerah semacam ini memang bukan merupakan salah satu ide brilian yang dikemukakan oleh Alexander Graham Bell. Lebih baik mengurung diri, jika memang tak ada kewajiban yang harus dilakukan.

     Namun, tidak untuk Kala. Pemuda itu sepertinya tak mampu menilai situasi, tak mau menilai kondisi. Tetap melajukan motor di tengah cuaca terik yang mampu membuat tenggorokan terus-terusan meronta ingin dialiri sesuatu yang dingin. Berbekal jaket Levi’s yang tak pernah absen di bawa ke mana pun, pemuda itu tampak semringah. Tak terganggu dengan kepekatan terik yang cukup menyebalkan.

     Ah, cinta. Sebut saja tindakannya disebabkan oleh satu kata yang sangat sederhana itu. Sederhana, tetapi memiliki arti yang sangat luar biasa. Cinta memang sering kali membutakan, mengaburkan, mengubah seseorang menjadi seseorang yang lain. Satu-satunya perasaan yang bisa membuat mentari meleleh dan salju mencair. Perasaan yang dapat membolak-balikkan hati seluruh insan, tanpa dapat dijelaskan menggunakan rumus oleh makhluk se-terpelajar Isaac Newton sekalipun.

     Niscala berkendara ke rumah Lavina, menepati janji yang sudah dibuat semalam. Janji dadakan, yang membuatnya harus melajukan motor di tengah cuaca gersang, memasang senyum semringah tanpa perlu diperintah dua kali. Tak pernah terbersit sedikit pun di otaknya jika jalan kisahnya akan berubah begini. Dia bertandang ke rumah Lavi. Ke. Rumah. Lavi. Sungguh ajaib.

     Sejak hari terakhir di mana Rhys menelepon dan menyuruhnya menjemput Lavi di hari hujan, keduanya semakin dekat. Lebih dekat dari sebelumnya. Lavi bercerita mengenai Novesta. Pun gadis itu memintanya tinggal lebih lama di rumah sembari menunggu rintik-rintik angkasa berhenti berjatuhan. Sungguh, Kala tak berhenti mengucap syukur dalam hati. Ternyata begini rasanya menjadi sosok Rhys yang selalu dibutuhkan di hidup Lavina. Luar biasa menyenangkan.

     Bermenit-menit berkendara, Kala menghentikan motor di depan gerbang rumah yang sudah sangat dihafalnya. Faktanya, ini kali ke sekian dia berkunjung kemari secara sadar dan tanpa sembunyi-sembunyi. Namun, ini kali pertama untuknya mengunjungi kediaman Lavi, menginjakkan kaki di dalamnya, tanpa menyangkut-pautkan hujan dan agenda berteduh sebagai alasan. Mentari jadi saksi, saat ini dia akan benar-benar berkunjung. Seperti sepasang teman yang sedang bersilahturahmi.

     Ah, teman ...

     Gue maunya lebih. Rhys itu teman buat Lavi. Gue mau lebih ...

     “Lama banget, Kala!”

     Pekik Lavi yang menyambut cukup untuk membuat senyum Niscala semakin melebar. Dia menatap gadis pujaannya dengan sorot berbinar, pandangan senang—sekalipun baru saja Lavi hampir melontarkan nada membentak. Bukan masalah. Dibentak pun, baginya Lavina akan tetap sama. Sama menawannya.

     “Iya. Sorry. Tadi mampir dulu beli es serut. Lo suka es serut, ‘kan?” kata Kala, mengiri langkah Lavi yang kini mendekat, berdiri di depan gerbang untuk membuka pintunya lebih lebar.

     Kalimat yang dilontarkan Kala mampu membuat Lavina tersenyum lebar. Lebar sekali. Menikmati es serut di tengah cuaca terik begini pasti menyenangkan. Belum-belum, kerongkongannya sudah terbakar melihat bungkusan plastik yang tergantung di motor Kala. Tampak enak sekali.

     “Nanti kita malah enggak fokus belajar kalau sambil ngemil,” kata Lavi, yang hanya merupakan kalimat basa-basi biasa. Tanpa camilan pun, dia sering hilang fokus jika diharuskan menatap buku pelajaran. Sudah biasa.

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang