Hujan Ketujuh Belas; "Kamu punyaku. Dia bisa apa kalau aku begini?"

22 3 0
                                    

Oktober, 2014


Awan kelabu menggantung di angkasa, penanda hujan-untuk ke sekian kali lagi-akan membuat aspal-aspal kehilangan kegersangan. Masih 'akan'. Belum benar-benar terjadi. Seolah semesta memberi kesempatan bagi para insan untuk menyelesaikan segala sesuatunya secara kilat, sebelum jalan-jalan akan tertutup oleh ribuan rintik.

Terlihat banyak sekali kaki-kaki yang melangkah tergesa, bergegas, agar bisa segera sampai di tempat tujuan dan tak membuat diri sendiri basah. Beberapa telah siap dengan payung kecil yang masih terlipat. Beberapa lagi tak membawa apa pun, tangan kosong. Hanya berbekal pada kecepatan langkah, juga doa, agar Tuhan tak menurunkan 'berkah'-Nya di detik ini. Hujan itu termasuk karunia. Benar?

Begitu pula dengan Novesta. Gadis itu tampak berjalan sama tergesanya, sama bergegasnya, tak beda dari manusia-manusia lain. Satu-satunya hal tak serupa yang bisa menjadi patok pembeda, adalah gurat-gurat mukanya. Wajah ayunya menggambarkan ekspresi yang tak biasa. Tampak panik, tetapi bukan karena menghindari hujan. Terlihat kurang tenang, tetapi bukan karena mendung.

Ada sorot kemarahan pada pupilnya, memantul pada segala bagian tubuh lain. Alis, hidung, pipi, bibir, telinga, ayunan tangan, gerakan kaki, semuanya. Bahkan segala kemarahan itu telah menggerogot hati, mengendon dalam otak, saking dahsyatnya.

Gadis itu baru saja selesai menghadiri kelas di kampus, ketika ponselnya bergetar menampakkan pemberitahuan pesan masuk. Dari Elazar, yang mampu membuat senyumnya mengembang hanya karena membaca nama yang tertera di layar. Namun, siapa yang mengira, senyum manis itu akan berubah menjadi getir hanya dalam hitungan detik, ketika dia menatap sebuah foto yang terlampir.

Satu potret diterima, menggambarkan sosok si pengirim bersama seorang gadis, melakukan self-camera dengan jarak sangat dekat, lengkap dengan pose mencium pipi yang sungguh romantis. Tak bisa dibilang seperti itu, sebenarnya. Karena jelas-jelas segalanya salah. Perempuan-siapa pun itu-tak patut memperlakukan kekasih orang lain dengan kelewat mesra.

Itulah yang menuntun langkahnya terarah kemari, mengesampingkan waktu istirahat yang didapatnya setelah penat menghadapi dosen. Dia ada di area kampus Elazar, sengaja datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Hatinya lelah bersabar, letih disakiti, dan menuntut untuk meluruskan segala yang sedang membengkok.

Tempat asing itu terasa semakin asing dengan kehadiran banyak mahasiswa yang tak dikenalnya, berlalu-lalang tanpa perlu peduli. Pun begitu dengan Novesta. Gadis itu sudah mengesampingkan segala rasa takut dan malu. Dia harus bertemu Elazar, sekarang juga.

Jadi, dia menghentikan salah satu laki-laki yang tampak tergesa, memohon maaf karena menghalangi, kemudian menyatakan maksud.

"Kenal Elazar? Elazar Banyu Batara. Dia kuliah di sini, jurusan manajemen semester lima."

Untungnya, dunia sedang berpihak. Alih-alih mendapat perlakuan kurang ramah, pemuda yang dicegatnya dengan senang hati menjawab, bahkan memberitahu di mana terakhir kali dia bertemu Elazar. Membuat Vesta berulang-kali mengujarkan terima kasih. Pemuda itu juga bersedia mengantar, mengesampingkan urusannya yang tadi hendak berlangsung. Bumi masih menyimpan beberapa manusia baik, rupanya.

Dan, tempat yang dimaksud oleh si mahasiswa budiman itu adalah sebuah lorong panjang di lantai dua, depan perpustakaan yang sedang sepi. Bangku-bangku yang disediakan di koridor itu tampak kosong, hanya terisi oleh dua orang yang kini sedang tertawa kecil, tak merasakan sedikit pun perihal kehadiran manusia-manusia lain. Sekali lihat, Vesta sudah mampu merasakan sengatan yang maha dahsyat di hatinya.

Itu Elazar, bersama dengan satu cewek-yang tadi dilihat di layar ponsel.

"Itu, Mbak. Elazar yang itu, 'kan?"

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang