Hujan Kedelapan Belas; "You mean the world to me. Don't you see?"

18 3 0
                                    

Tuhan begitu baik karena telah menciptakan makhluk bawel semacam Mama Lavina, yang mengakibatkan wanita itu menelepon sang anak yang sedang ada di luar, berujar sesuatu semacam, "Titip belikan benang wol, ya, Dek! Nanti uangnya Mama ganti di rumah."

Tuhan juga begitu baik karena telah menghadirkan sosok seperti Caraka dengan segala kesibukan yang tak bisa ditunda, hingga membuat pemuda itu menolak titah sang adik yang menyuruh, "Jemput aku, Mas!"

Serta, kebaikan Tuhan melimpah tiada dua, karena telah menurunkan hujan di waktu yang tepat-hingga membuat Lavina dan Novesta bisa bertemu, menghalangi kejadian buruk yang hendak terjadi.

Tanpa hujan, mungkin Lavi telah ada di rumah, menggerutu pada Mama perihal toko benang yang sudah tutup, melakukan aksi mogok makan kecil sebagai tanda mengambek, kemudian mendamprat Caraka seharian penuh. Untung saja hujan menahannya, membuatnya terhalang bersama payung, berdiri menunggu taksi yang tak kunjung hadir.

Hujan juga menghalangi niat Niscala yang hendak menjemput. Jujur saja, pemuda itu tak peduli dengan basah. Baginya, Lavina tetap nomor satu. Namun, si gadis benar-benar melarang, membuat percakapan telepon itu menjadi panjang karena debat kecil, sebelum akhirnya pihak perempuan tiba-tiba berteriak dan melupakan segala tentang Niscala.

Terima kasih, hujan.

Kini, para gadis remaja itu masih berdiri di trotoar yang sama, berpayung berdua, menunggu Rhys yang sudah menyanggupi datang dengan penuh kekhawatiran.

Vesta telah berhenti menangis, dan mulai dapat menceritakan kronologi kejadian. Kalimat demi kalimat yang tersembur cukup untuk membuat Lavi geram setengah mati. Geram pada Elazar dengan segala tingkah pengecutnya. Geram pada Vesta karena telah begitu buta, mengesampingkan sosok lembut semacam Rhys hanya demi setan terkutuk satu itu.

"Gue enggak ada hak buat larang-larang lo, sebetulnya. Tapi, lo teman gue, Ves. Ya ... sekalipun-jujur-gue sempat marah sama lo perkara Rhys, tapi lo tetap teman gue. Dan gue enggak suka lihat teman gue diperlakukan kayak sampah begini. Sorry to say, tapi lo agak buta, Ves. Sumpah, deh! Banyak yang lebih segalanya dari cowok lo. Kalau setelah ini, lo masih mau kasih maaf, masih mau jalin hubungan, gue enggak tahu lagi julukan macam apa yang cocok dijadikan nama tengah lo."

Ujaran panjang lebar dari Lavi cukup untuk membuat Vesta bungkam. Gadis itu tak menjawab, lebih memilih diam alih-alih tersinggung dengan ucapan kawannya. Karena nyatanya, semua memang benar.

Dia buta. Bertahun-tahun dia menutup mata pada keindahan yang terpapar jelas, hanya untuk menikmati kengerian yang dibungkus oleh sayang-semu. Sungguh ironi.

Ternyata, mencintai tak selalu berakhir dicintai. Mengasihi tak melulu berujung dikasihi. Seperti gaya tolak-menolak yang terjadi pada magnet dengan dua kutub yang sejenis. Tak akan bisa menyatu, walau dipaksa sekeras apa pun.

"Gue tebak, orang tua lo pasti enggak pernah tahu tentang kelakuan Elazar."

Suara Lavina kembali terdengar, membuat Vesta melirik dari tempatnya. Sekali lagi, gadis itu mengujarkan kebenaran. Elazar-di mata kedua orang tua Novesta-adalah lelaki baik dan sopan. Mana berani dia bercerita tentang kejadian tersembunyi yang dialaminya.

"Kakak gue pasti marah besar kalau sampai tahu," katanya, menjawab ujaran Lavi. Bukan dengan ucapan 'iya', tetapi Lavina sudah paham seratus persen.

"Terus, ini gimana? Pipi lo biru banget. Mau kasih alasan apa?" tanya Lavi.

"Jatuh, mungkin?" kata Novesta, dengan nada meminta pendapat.

Agak kurang masuk akal, sejujurnya. Mana ada manusia yang memiliki luka lebam pada tulang pipi hanya karena jatuh? Mana darahnya, jika memang semua terjadi akibat ulah aspal?

Raining (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang