Dokter melepas stetoskopnya. Ia telah selesai memeriksa Lee. Nayeon hanya menatapnya sinis sambil bersidekap bersandar di dinding. Ia masih kesal.
"Syukurlah kau sudah sadar. Kondisimu sudah lebih baik dari seharusnya. Kau sudah bisa pulang, tuan," ujar dokter.
"A-apa kau yakin? aku masih belum yakin kondisiku sudah lebih baik. Dadaku masih terasa sakit," ucap Ray berbohong. Ia ingin mengulur waktu sampai rencananya benar-benar sudah matang supaya ia bisa langsung pergi ke perusahaanya.
"Kau sudah sembuh. Hanya butuh perawatan di rumah saja, kondisimu akan jauh lebih baik," ucap dokter itu sambil tersenyum ramah.
Nayeon hanya memperhatikannya dari kejauhan.
"Kau yakin?" tanya Ray. Ia hampir kehabisan akalnya.
Dokter itu mengangguk, "aku akan pergi dulu untuk mengecek semua kelengkapan surat-surat kesehatanmu."
Tetapi Ray menahan Dokter itu untuk tidak segera pergi. Sesaat ia melirik Nayeon yang masih menatapnya dengan tatapan tajam. Ia masih teringat kejadian beberapa menit yang lalu. Saat Nayeon benar-benar murka dan hampir memakannya. Mengerikan.
"Apa kau yakin aku sudah sembuh? Dadaku tiba-tiba bergetar. Kurasa a-aku akan kejang." Ray mulai melancarkan aksi dramanya kembali. Ia bersikap seolah-olah akan kejang.
Dokter itu mengusap tangan Ray yang ada di lengannya. "Keaadanmu sudah membaik dari 2 hari semenjak kedatanganmu ke sini. ingat! Sebaiknya kau segera pulang."
Ray menghentikan aksinya dan menelan salivanya. Habislah ia. Nayeon akan menelannya hidup-hidup.
Dokter segera berlalu dan membungkuk sopan kepada Nayeon yang masih menatapnya kesal. Rambutnya masih acak-acakan dengan penampilan yang sama mengkhawatirkannya juga.
Kini tinggallah mereka berdua di ruangan itu. Nayeon belum selesai mengintrogasi pria yang menghabiskan hampir seluruh tabungannya itu.
Nayeon berjalan perlahan, menghampiri Ray yang menatapnya sedikit ketakutan.
"Katakan tentang dirimu yang sebenar-benarnya!" titah Nayeon. Matanya masih tajam menatap Lee.
Ray memutar otaknya supaya gadis di hadapannya tak mengetahui siapa dia sesungguhnya. Karena jika gadis itu tahu semua tentang dirinya, mungkin penyamarannya akan terbongkar dan semua media akan memburu dirinya. Tentu saja itu akan membahayakan nyawanya juga Nayeon. Pamannya--Ahn pasti tak akan tinggal diam.
Ray berdehem sebentar, sebenarnya ia tak terbiasa untuk untuk berbohong. Tapi ini untuk kebaikan dirinya dan juga Nayeon.
"Namaku Lee Ji-eun, aku pendatang baru di kota ini," ucap Lee sambil menampilkan senyum kegugupannya.
Nayeon menyipitkan matanya. Sedangkan Ray hanya bisa berdoa semoga Nayeon tak sadar dirinya tengah dibohongi (lagi). Bisa-bisa kepalanya akan dipenggal habis.
"Lalu ... kenapa kau bisa hanyut di sungai dan dimana keluargamu?" tanya Nayeon.
"Ah ...." Ray berpikir sejenak. "Hari itu aku di kejar oleh beberapa orang-orang jahat yang menginginkan harta bendaku. Aku berlari dan sedikit memberikan perlawanan. Namun, tak sengaja aku terjatuh ke dalam sungai dan hanyut." Ray nyengir kuda dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Lalu keluargamu?"
"Keluargaku ...." Ray kembali berpikir supaya ia tak salah memberikan jawaban. "Mereka ada di desa terpencil di negara ini. Aku bertekad mengadu nasib di kota ini untuk menghidupi keluargaku yang sangat miskin," ucap Ray. Ia benar-benar pintar dalam berdrama. Padahal hartanya sangatlah banyak dan keluarganya hidup sangat berkecukupan.
Nayeon diam sejenak. Ia merasa ada yang janggal dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh Ray. Entahlah ... instingnya bekerja sangat kuat.
Ray yang melihat gelagat Nayeon yang mulai ragu dengan ucapannya segera membuat drama lagi. Kali ini ia membuatnya sedramatis mungkin. Agar Nayeon mempercayai ucapannya.
"Di sana aku hanya hidup bersama adikku yang masih kecil dan sakit-sakitan. Kedua orang tuaku telah meninggal." Ray berdrama, ia pura-pura menggosok matanya dan mengeluarkan air mata pendustaan.
"A--aku merasa aku sendirian di dunia ini. Tanpa orang tua juga kerabat, a--ku harus berjuang menafkahi adikku yang mempunyai penyakit langka sejak kecil. Dan ... biayanya sangatlah mahal," lirih Ray penuh dusta. Ia sedikit terisak dan menutupi wajahnya dengan selimut.
Nayeon yang mendengar hal itu sedikit terenyuh. Kisah hidup Lee mirip sekali dengan kehidupannya. Lee pasti sulit menjalani kehidupannya, apalagi ia mempunyai adik yang sakit dan harus ia biayai sepenuhnya.
Lee terus membuat dramanya. Ia terus bercerita mengenai kisah kehidupan bohongnya. Dalam hatinya ia merasa lega. Sepertinya Nayeon mulai mempercayai dirinya.
Tak terasa bulir air mata Nayeon terjatuh. Ia teringat kembali dulu saat ia benar-benar merasa sendiri di dunia ini. Hingga ia bertekad untuk mengakhiri hidupnya. Namun, untung saja See Yeon menyelamatkannya tepat waktu.
"Orang tuaku juga memilik begitu banyak hutang. Dan aku yang harus membayar semuanya," ucap Lee sambil mengelapkan tisu ke ujung-ujung matanya.
Nayeon menatap Lee sendu. Mata dan hidungnya sudah memerah akibat menahan tangis.
"Be--berapa hutang keluargamu?" tanya Nayeon dengan suara yang sedikit bergetar.
Lee pura-pura berpikir sebentar. "satu milyar atau mungkin dua milyar," ucap Lee dengan enteng.
Seketika Nayeon menutup mulutnya. Matanya membulat sempurna. Itu adalah nominal yang sangat banyak. Mungkin ia akan mendapatkan uang sebanyak itu jika ia bekerja seumur hidup.
"Be-benarkah?" tanya Nayeon.
Lee mengangguk. Dalam hatinya ia tertawa geli. Gadis dihadapannya ini benar-benar bisa merubah moodnya dalam sekejap saja. Nayeon bisa merubah dirinya bak psikopat yang siap membunuh kapan saja, lalu berubah dalam beberapa menit saja menjadi anjing kecil yang sangat cengeng.
"Malang sekali nasibmu."
"Hua ...." tangis Nayeon tiba-tiba pecah. Ia memeluk Lee erat.
Sedangkan Lee terkejut dengan perlakuan Nayeon yang tiba-tiba ini. Nayeon adalah gadis pertama yang berhasil memeluk Lee. Sebelumnya Lee belum pernah melakukannya dengan siapapun. Lee merasa aliran hangat mulai menyebar di sekujur tubuhnya. Rasa nyaman dan tenang mulai menyelimuti tubuh Lee. Debaran jantungnya berdetak tak menentu.
Lee memejamkan matanya dan perlahan membalas pelukan Nayeon. Sangat nyaman. Ia kembali teringat ibunya yang telah meninggal 5 tahun lalu. Rasanya seperti ia tengah memeluk ibunya yang selama ini sangat ia rindukan.
Tak jarang Lee mengigau dan memanggil-manggil nama ibunya. Ia selalu terbangun tengah malam dengan mata yang telah basah dan keringat telah membanjiri tubuhnya. Seruan ibunya terdengar sangatlah nyata.
Ibunya telah mengajarkan semua tentang bagaimana hidup di dunia yang keras ini. Tapi ia tak mengajarkan bagaimana Lee harus hidup tanpanya. Selama seminggu semenjak kematian ibunya, Lee bagai zombie. Ia sama sekali tak berselera makan dan enggan bertemu orang-orang. Ia hanya mengurung dirinya di kamar dan menangis setiap malam.
"Oma," lirih Ray. Bulir air matanya jatuh seketika. Ia semakin mengeratkan pelukannya seolah Nayeon tidak boleh pergi darinya.
Nayeon masih terisak. Ia sedikit merenggangkan pelukannya dan menatap Ray dengan mata yang sembab. Pria itu tampaknya juga sedikit menangis terlihat matanya juga memerah dan bibirnya bergetar akibat menahan tangis.
Nayeon kembali memeluk Lee erat. "Tak apa, kau tak sendirian sekarang. Aku ada disampingmu. Tetaplah hidup dengan mimpi-mimpimu," ucap Nayeon. Itu adalah kata-kata yang See Yeon ucapkan dulu kepadanya.
Lee semakin mengencangkan pelukannya. Ini kali pertama ia merasa nyaman dan tenang. Mengingat ia adalah seorang pekerja keras yang mandiri. Sepanjang hidupnya adalah kerja, kerja dan kerja. Ia lupa bagaimana tubuhnya bisa merasakan ketenangan seperti ini. Kecuali saat bersama ibunya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, Mr. Lee
General FictionNayeon, gadis cantik berparas mungil selalu bersemangat dan bekerja keras menjalani kehidupannya. Walau ia hidup seorang diri di sebuah apartemen kumuh, tak menyurutkan tekadnya untuk menjadi seorang penulis novel terkenal. Nayeon bekerja menjadi se...