71. Baru

521 95 50
                                    

Kalau boleh jujur, sebenarnya Jungwon merasa bahwa dirinya belum siap untuk kembali bersekolah. Bertemu dan berkumpul dengan banyak orang yang sebelumnya tidak pernah ia kenal dan menghabiskan waktu selama kurang lebih tiga tahun di tempat yang sama.

Sedikit banyak, Jungwon merasa takut. Takut kalau sekolah yang sekarang sama saja dengan sekolahnya yang dulu. Bukan maksud membandingkan atau menyamakan dalam segi pendidikannya, tetapi orang-orangnya.

Sekolah tempatnya mendaftar bisa dibilang sebagai sekolah elit dan terkenal. Biasanya yang menimba ilmu di sana adalah anak-anak orang kaya dan memiliki jabatan. Tidak beda jauh, lah, dengan Bakti Pertiwi di mana sang kakak menimba ilmu.

Mengingat fakta itu, Jungwon semakin merasa takut. Kakinya bahkan gemetar sedari tadi, tepatnya saat seluruh siswa dan siswi baru diminta untuk ikut upacara bendera yang memang selalu dilakukan di hari Senin pagi.

Sekolah ini memang tidak menggunakan yang namanya masa orientasi siswa atau apa pun. Sesuai informasi yang Jungwon dapat, setelah upacara bendera nanti, hanya akan diadakan MPLS atau masa pengenalan lingkungan sekolah yang bahkan Jungwon sendiri tidak mengerti bagaimana sistemnya nanti.

Lelaki paruh baya yang diketahuinya sebagai sang kepala sekolah tampak menjelaskan apa-apa saja yang sekiranya diperlukan oleh para peserta didiknya yang baru. Akan tetapi, jujur saja, Jungwon tidak terlalu memperhatikan. Ia sibuk sendiri menikmati sensasi gemetar pada kakinya dan juga bagaimana tubuhnya yang mendadak terasa lemas.

Tenang saja, Jungwon merasa lemas bukan karena belum sarapan, kok. Bisa-bisa ia diomeli sepanjang hari oleh Mama Eunha kalau sampai itu terjadi. Remaja satu itu merasa lemas karena gugup. Apalagi, tingkat kepercayaan dirinya yang tiba-tiba saja meningkat saat merasakan jika orang-orang di sekelilingnya mulai memperhatikan secara diam-diam.

Ya, tepat sekali. Itu hanya bagian dari kepercayaan dirinya saja, sebab paling-paling yang memperhatikannya tak lebih dari dua sampai tiga orang.

"Psst, psst."

Bisikan-bisikan itu, diabaikan oleh Jungwon karena ia pikir, pasti itu bukan ditujukan untuknya. Akan tetapi, tak lama setelahnya, remaja laki-laki itu merasakan bahunya ditepuk pelan. Hal itu sukses membuatnya menoleh ke belakang dan mendapati seorang remaja lainnya yang kini terlihat memberikan cengirannya.

"Lo kenapa?" tanya remaja itu kepada Jungwon. "Lo sakit?"

Katakan jika dirinya terlalu berlebihan, tetapi jujur saja, ditanyai seperti itu membuat Jungwon semakin merasa takut. Ini seriusan ada yang mengajaknya berbicara!? Begitulah kira-kira isi kepala remaja 15 tahun satu itu. Karena hal itu jugalah, respons yang diberikan oleh Jungwon hanya mengerjap kecil, kemudian segera kembali mengalihkan pandangannya ke depan.

Tanpa ia sadari, remaja yang tadi bertanya kepadanya, menoleh ke samping---tepatnya pada barisan di sebelahnya---kemudian mengangkat bahunya tanda tak mengerti. "Coba lo yang nanya," bisiknya kepada sang teman yang bertubuh tinggi di sampingnya. Kira-kira sekitar lima sampai tujuh sentimeter lebih tinggi dari Jungwon.

"Tar ketahuan," balas si teman, membuatnya mendesah.

Bohong kalau Jungwon tidak mendengar apa yang dibicarakan dua orang itu. Ia bahkan semakin was-was saja dibuatnya, tetapi karena tidak mau membuat mereka ketahuan guru-guru serta kakak kelas lainnya, si remaja dengan lesung pipi itu memilih kembali menoleh ke belakang. "G-gue nggak apa-apa, kok," jawabnya tiba-tiba. "Maaf ya."

Mulanya, dua remaja dengan tinggi badan yang tidak begitu berbeda itu kembali saling pandang, sebelum salah satunya yang memiliki kulit tan langsung berujar, "Serius? Tapi kaki lo kayak gemeter gitu. Lo juga keringetan, deh."

[2] a Ghost-ing Me! [JayWon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang