13 | don't be like

0 1 0
                                    

Ghina dengan terpaksa duduk di hadapan ayah dan maminya serta satu orang asing yang tak ingin di temuinya.
Rasa tak nyaman menguasainya, ia muak dengan inti pembicaraan yang hanya mengusik rasa maaf.

"Gimana Hara keadaannya?" Tanya wanita asing yang itu pada Ghina.

"Baik." Jawabnya ketus.

"Gimana di sekolah barunya?" Tanya kembali.

"Seperti biasa." Masih dengan nada ketus, Ghina seolah ingin mengatakan bahwa kenapa harus berbasa-basi kenapa tidak langsung ke inti.

"Hara masih marah sama bunda, bunda benar-benar minta maaf, hiks." Wanita yang menyebut dirinya bunda itu terisak pelan, matanya nampak mengembun.

"Aku mau buat pr. Mi yah Ghina ke atas ya." Pamit Ghina seolah tak menganggap wanita satunya lagi ada di sana.
Ghina berjalan kearah tangga lantai dua. Tapi panggilan wanita itu menghentikan langkahnya.

"Hara tunggu bunda." Panggilnya. Ia memeluk Ghina tiba-tiba. Ghina tak membalas pelukan ia masih dengan muka masamnya.

"Hara masih belum maafin bunda, apa yang harus bunda lakuin agar Hara maafin?" Tanya wanita itu penuh harap, seakan mendapat maaf dari Ghina adalah segalanya.

"Nggak ada." Jawab Ghina.

Ghina berbalik arah dan melangkah menaiki tangga. Tak lagi berbalik.

Ghina memasuki kamarnya, menutup pintu segera, Ghina terduduk, ia tidak sanggup lagi membendung tangisnya.

Ghina lebih terluka di banding wanita itu. Masa lalu itu mengganggu masa kecil hingga remajanya. Menyakitkan dan menakutkan adalah dua hal yang dirasakannya.

Isakan-isakan pelan terdengar dari Ghina, hingga ia memutuskan untuk bangun dan menuju balkon, Ghina melihat langit redup tanpa bulan, bintang pun tidak. Suasana langit yang mendung seolah menggambarkan perasaannya saat ini.

Di lantai bawah ketiga orang dewasa itu melanjutkan obrolan kembali selepas Ghina pergi.
Sedang wanita asing tadi masih terus menangis pilu.

"Mbak tahu sendiri kan kalau Ghina itu masih labil, suatu saat nanti mungkin bakalan maafin mbak." Kata mami menenangkan.

"Kapan Nima, kalau aku mati." Kata orang itu tak sabaran.

"Istighfar mbak, ini nih kesalahan mu, nggak sabaran." Kata mami males menghadapi orang seperti ini.

Ayah sedari tadi hanya diam tanpa ikut menenangkan wanita itu.

"Iya aku tahu ini kesalahan aku, tapi apa susah sih cuma maafin aku." Kata wanita itu masih dengan keadaan yang sama.

" Kamu jangan egois Sri, selama ini kamu nggak tahu, Ghina itu menanggung beban mental akibat perbuatan mu." Ayah buka suara, geram putrinya di salahkan.

"Rik kamu juga ikut andil dalam kesalahan itu, jangan hanya memojokkan ku." Mata wanita asing itu memerah, tangis di campur perasaan marah, jadinya kan keki.

"Sebaiknya kamu pulang sekarang Sri." Kata ayah lagi.

"Kamu bermaksud mengusir ku mas, dari anakku." Dada Sri naik turun.

"Bukan begitu mbak, tapi maksudnya sebaiknya mbak pulang dan istirahat, biar tenang." Kata mami Nima lembut dan pelan.

"Tapi Hara..." Sri menjeda kalimatnya.

"Tenang mbak Ghina pasti maafin kok, mungkin bukan sekarang waktunya." Kata mami kemudian, seperti paham dengan maksud Sri.

Wanita asing yang diketahui bernama Sri itu kemudian pulang setelah sedikit merasa tenang.

Ghina masih betah di balkon, dengan dinginnya malam yang tak di pedulikan. Ia menatap wanita itu yang pergi dari kediamannya, entah mengapa berat sekali memaafkan wanita itu.

"Masuk Ghin, nanti sakit." Kata ayah yang datang tiba-tiba tanpa Ghina sadari, mungkin pintu kamar lupa di kunci tadi.

"Iya Yah." Ghina masuk menuruti kata ayah.

"Kenapa nangis Ghin." Tanya ayah setelah memeluk Ghina sejenak.

"Nggak tahu tiba-tiba tadi keluar sendiri air matanya." Ayah terkekeh mendengar penuturan Ghina.

"Kamu ini, ohya Minggu besok kita bakalan ke tempat nenek ya." Kata ayah dan mendapat anggukan dari Ghina.

"Udah dapat teman belum di sekolah baru?" Tanya ayah menilik Ghina.

"Udah kok, bahkan bang Hardi sekolah di tempat yang sama dengan aku lho yah." Kata Ghina seperti melupakan masalah tadi.

"Ohya, ayah baru tahu. Yaudah kapan-kapan suruh main kesini." Sahut ayah.

"Sekarang tidur, besok sekolah." Kata ayah setelah pamit dan menutup pintu kamar.

Ayah merasa putrinya itu terlalu kerasan hidup di luar sana, hingga sekarang memberikan perhatian sejenak pada Ghina, walau hanya sebatas menanya kabar dan tentang sekolahnya.

Begini saja sudah cukup, segenap rasa syukurnya pada Tuhan, karena masih mengizinkan bertemu dengan putrinya itu yang selama belasan tahun tak bisa di temuinya itu.

"Gimana Ghina nggak kenapa-napa kan?" Tanya mami pada ayah setelah memasuki kamar mereka.

"Ada sih nangis sepertinya tadi, sekarang sudah nggak." Kata ayah pada mami.

"Terus gimana ke rumah ibu Minggu ini?" Lanjut mami.

"Bisa, Ghina nggak nolak kok." Sahut ayah.

"Makasih ya Nim, udah dukung aku bahkan setelah tahu gimana kondisi Ghina." Kata ayah sambil mengecup kening mami. Wanita yang menemani di masa sulitnya selama ini.

"Jangan lebay deh, itukan emang tugas kita. Saling mendukung." Sahut mami dengan senyum tulus miliknya.



_______________


Damar tak bisa tidur nyenyak malam ini, ia yang biasanya pulang larut, terpaksa tidur, mau keluar motor nggak ada.

Akhirnya ia sambungkan Vidio call kepada semua sohibnya.

"Apa sih mar malam-malam, ganggu orang tidur tahu nggak." Sambungan kepada Cika pertama kali terhubung.

"Ada apa mar, kita ada main malam ini kah?" Tamara yang nimbrung nomor dua langsung bertanya.

"Kenapa mar ada pesta lagi?" Gumiza langsung semangat kalau bahasannya pesta.

"Nggak ada apa-apa, gue cuma nggak bisa tidur." Ujar Damar, dan disambut gelak tawa oleh para sohibnya.

"Kampret Lo mar. Gue udahan deh." Damprat Cika.

"Eh, eh, si Mak lampir mutusin sambungan, woy kembali." Heboh Tamara.

"Biarin, Lo mau ikutan juga?" Tunjuk Gumiza pada Tamara.

"Nggak sih." Tamara cengengesan.

"Lo kenapa mar, ada masalah, cerita aja ke kita, kali bisa bantuin." Tawar Gumiza.

"Iya, nggak usah sungkan." Tamara ikut bersimpati.

"Nggak, gue nggak bisa tidur , kangen arena." Sahut Damar.

"Kita juga, iya nggak Miz?" Tanya Tamara pada Gumiza.

"Eum." Singkat Gumiza.

"Eh bentar ya, gue ada urusan." Pamit Gumiza sambil keluar dari sambungan video call itu.

"Kenapa tu anak?" Tanya Damar pada Tamara.

"He um nggak biasanya, bentar ya mar gue intipin." Sambungan itu berakhir dengan Tamara yang memutuskan, dan Damar kembali sepi matanya sulit terpejam.

MEET AFTER PARTINGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang