18 | lapangkan jalan kebaikan

0 0 0
                                    

Seminggu berlalu, tapi mbak Diva masih betah di kediaman Damar. Dengan kegiatan hariannya membersihkan kuku yang tidak kotor menurut Damar, mukbang, ngevlok , dan rebutan makanan dengan Damar, kalau lagi nggak ngutek kuku. Satu hal yang membuat Damar heran dan menjadi pertanyaan dari Damar untuk mbak Diva, tapi dia malas untuk menanyakan, kenapa mbak Diva tidak pulang ke rumahnya sendiri, karena mbak Diva sendiri sudah menikah, selama ini juga mbak Diva jarang ke rumah ayah, alasannya sibuk atau sedang banyak orderan di butik atau apalah, banyak.

Pasti terjadi sesuatu dengan mbak Diva, tapi Damar tak menerkanya, kalaupun mbak Diva memiliki masalah semoga terselesaikan dengan mudah dan tak membelitnya.

Damar melihat , selama seminggu mbak Diva dirumah, Ayah malah tampak lebih bahagia dari biasanya dan sebenarnya pun tak keberatan karena mbak Diva lebih sering menemaninya di banding Damar yang suka hilang dari rumah.


•••

Rambu-rambu lalulintas menjadi batas dan aturan bagi pengendara kendaraan apapun.
Di bawah lampu merah di persimpangan, Damar mengerem sepeda motornya, sedikit berdecit.
Ternyata Damar anak balap liar juga taat aturan, buktinya lampu merah tak di terobos.
Akhir-akhir Damar jarang hadir ditongkrongan mereka berempat, alasannya lagi mager.

Damar sendiri semakin sering ke toko buku, bukan tanpa sebab, karena di sana Ghina dan teman-temannya lebih sering nongkrong

Damar ke toko buku hanya masuk saja ataupun melihat list etalase buku, mengacak-acak buku, melihat judul buku, mengelilingi rak buku, sampai-sampai Damar sudah bosan di lihat mbak-mbak penunggu toko buku itu, dasar pengunjung nggak berpendirian, datang tak di undang, pulang tak membeli buku, mungkin tatapan mereka berkata begitu pada Damar.

Hari itu Damar di toko buku, di rak paling ujung ,hanya satu buku tersisa, sedikit berdebu, tapi sampulnya bagus, Damar ingin melihatnya.
Tangannya sudah memegang buku tersebut dan menepuk-nepuk debu tipis di buku itu.
Tapi satu tangan lain nampak melayang, dan mengambil alih buku di tangan Damar.

"Eehh Damarrr, gue yang duluan lihat, gue udah lihat dari Minggu kemaren, jadi ini punya gue." Ellisiya menarik buku incarannya dari rangan Damar. Sebel.

"Tapi gue yang duluan megang." Damar tak mau kalah, walau setelah di beli tak di baca.

"Pokoknya punya gue." Ellisiya bersikeras.

"Lagian ya, Damar, lebih baik lo pulang, Ghina nggak ada hari ini." Kata Ellisiya tahu maksud terselubung Damar rajin datang ke toko buku, hanya untuk bertemu Ghina.

"Emang Ghina kemana?" Tanya Damar, ia nampak cengo, bagaimana bisa Ellisiya tahu maksud kedatangannya setiap hari ke sini.

"Nggak usah kepo deh, ini masalah cewek." Ellisiya ketus.

"Apaan masalah cewek." Damar tak paham, mencoba mendekati Ellisiya, mungkin ia bisa tahu apa masalah Ghina.

"Tanya sendiri sama cewek!" Ellisiya berlalu dari hadapan Damar, seperti akan pulang.

"Tapi lo cewek, gimana sih." Teriak Damar frustasi, ke Ellisiya tapi tak di gubris.

Damar mengingat-ingat lagi, dan ternyata Ghina memang tak kelihatan di sekolah hari ini.
Kenapa dia?

Tanpa sengaja Damar saat akan pulang bertemu teman Ghina yang tak suka bicara, ia lupa namanya, padahal itu adalah siswa kelasnya juga. Yang ternyata adalah Dena si calm girl

"Eh lo, yang rambut pendek, tunggu!" Panggil Damar, menghentikan langkah Dena dan Ellisiya di belakangnya.

Damar menyusul Dena keluar dari toko tersebut.

"Kenapa sih lo Damar, udah gue bilang Ghina nggak ada." Ellisiya lah yang menyahut bukan Dena, mereka berdua berdampingan.

"Gue nggak bicara sama lo." Perkataan Damar cukup membuat Ellisiya tambah kesal.

"Yuk pulang Dena, orang nggak waras suka ngomong nggak beres." Kata-kata Ellisiya cukup nyelekit, tapi itu tak membuatnya sakit hati.

"Ooh Dena, ya. Tunggu! Gue cuma mau nanya." Damar masih tegar.

"Apa? kita mau pulang. " Jawab Dena datar.

"Ghina Kenapa? kata temen lo, masalah cewek, emang masalah apa sih?" Kali ini ia bertanya pada cewek yang sesungguhnya.

"Ghina lagi sakit." Dena masih sedatar tadi.

"Sakit?" Damar shock. Ghina sakit ternyata. Kepala Damar berdentam, hatinya ngilu. Ghina sakit katanya.

"Denaaa, cepetan nggak usah diladenin orang nggak waras." Ellisiya masih dengan kekesalannya yang tadi. Tak peduli dengan tatapan tajam ke arahnya. Ellisiya memandang sinis ke Damar.

"Gue duluan." Kata Dena sebagai pamitan.

"Yoi." Damar tak menyangka Dena bisa pamitan juga, berarti yang datar bisa sopan juga, ya.

Ellisiya dan Dena berlalu dengan motor mereka, meninggalkan Damar yang memikirkan Ghina.

Sakit apa Ghina?

Sesampai dirumah belum ada kendaraan mbak Diva dan ayah yang biasa terparkir disana, ini terlalu sore untuk Damar yang biasanya pulang petang pergi lagi.

"Den mau bibi siapin makanan?" Si bibi menyambut kedatangan Damar sambil menawarkan makanan, pada tuan muda yang masih berseragam di sore hari padahal sekolah sudah usai, anak muda jaman sekarang berseragam tak pakai peraturan pikir si bibi.

"Nggak usah bi." Kata Damar.

"Oh ya, nanti bilang sama ayah aku ke tempat teman ya." Damar berkata sopan pada bibi. Tak pakai bahasa hariannya. Lo-gue.

Damar melepas seragamnya, lewat jendela kamarnya yang lebar Damar melihat senja merekah dengan sempurna.

Ia teringat pada hal tadi, Ghina yang katanya sakit. Damar selalu berdoa semoga Tuhan menyembuhkannya dengan cepat dan kembali sehat.

Dengan balutan jaket dan celana denim, Damar bergegas. Ia ambil ponsel dan keluar kamar.

Di depan pintu ayah dan mbak Diva memasuki rumah.
Ada sesuatu yang sedang mereka bicarakan.
Mbak Diva tampak terisak pelan, matanya sedikit sembab. Mbak Diva menangis kenapa?, nggak mungkin kan karena ayah nggak jajanin.

Melihat Damar ingin pergi, mata ayah menajam. Damar menyalami ayah, pamitan. Ia menunggu sebentar, ayah pasti akan mengatakan sesuatu.

"Mau magrib Damar, mau kemana?" Tanya ayah.

"Ke tempat teman yah!" Kata damar bersiap pergi.

"Jangan lupa shalat magrib!" Ayah mengingatkan.

"Siap yah!!" Damar berlalu dengan motor kesayangannya, seiring langit senja membawa diri menuju pemulangan malam.

Di keluarga Damar, sudah menjadi prinsip, senakal apapun kamu , shalat tetap tidak boleh di tinggali, bukankah semuanya tentu tahu, shalat adalah pencegah keji dan mungkar!

Di bawah kubah keemasan, bukti agung rumah Allah, Damar sedang melaksanakan shalat magrib. Tak lupa doanya setelah shalat , supaya di lancarkan semua urusan, dan Allah lapangkan semua jalan kebaikan untuknya.

MEET AFTER PARTINGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang