2. Hai, Arva!

1.5K 127 9
                                    


"Kita masihlah orang yang sama, dengan perasaan yang mungkin saja berubah."

***

"Selamat malam teman-teman semua! Senang banget rasanya di tahun ini reuni kita masih terus rutin dilaksanakan dan kita masih bisa berkumpul dengan keadaan yang mudah-mudahan sehat selalu. Walaupun kayaknya ada nih, yang mukanya baru kelihatan sekali doang," Suara Andin yang sedang berdiri di mini stage dengan michrophone di tangannya menggema, di tengah-tengah keheningan pergelaran reuni yang mulai dilaksanakan, walaupun anggota belum tampak hadir semua. 

"Buat Atiya Tatjana Almira, semoga absenmu tidak dibiasakan kedepannya, ya," lanjut perempuan itu. Andin yang menyebut namaku secara terang-terangan membuatku kembali harus jadi pusat perhatian. Yang bisa kulakukan ya tentu cuman senyum kikuk seadanya, meski dalam hati ingin mengutuk Andin karena telah membuatku malu setengah mati.

"Untuk anggota yang katanya telat dikit, kita maklumi saja dulu. Mungkin lagi ada urusan mendesak. Tapi, kalau ada yang mau julitin secara terang-terangan juga boleh, kok. Nggak ada larangan, malah dipersilahkan dengan hormat, cause time is money, pepatahnya Tiya waktu presentasi pelajarannya pak Hasan. Tunggu gue ketawa dulu," henti Andin yang disusul dengan tawanya dan tawa semua orang yang menggema. Lagi-lagi, manusia ini perlu sekali membawa-bawa namaku dalam pidatonya. 

Alba dan Keanu yang kebetulan duduk di samping meja tempat kududuki, terdengar jelas tertawa terbahak-bahak sambil menunjukku penuh ejekan. Sekali lagi aku hanya bisa tutup muka, mau tidak mau ikut tertawa paksa. Mungkin ini memang karma karena kebiasaan absen ke reuni selama ini. Tapi memangnya harus sememalukan begini juga, ya? Kalau tahu begini, aku betulan tidak mau datang selamanya. Belum selesai penderitaanku, Andin bicara lagi.

"Than, sambil nunggu-nunggu yang belum datang, enaknya ngapain dulu nih? Nggak seru banget dong kalau langsung meluncur ke acara utama, sementara personil belum lengkap," Andin bertanya pada Ethan yang menjadi teman nge-MC nya. Seharusnya Andin dan Zoya yang biasanya jadi MC, kalau saja Zoya tidak sedang mengandung dan sekarang izin telat karena harus check-in ke dokter. 

"Sumbang lagu aja nggak sih? Kelas kita kan banyak diva. Misalnya nih, gue, Rasya, Faris, dan sekarang ada Tiya," saran Ethan yang langsung disoraki semua orang.

"Gass Tiya yang nyanyi!" sahut Taqi semangat.

"Request penyanyi Tiya aja, Din," Meta juga ikut-ikutan menyorak dan langsung aku cubit lengannya. 

"Lagu galau jangan lupa!"

"Karena reuni ini kita pentingkan kebahagiaan bersama, jadi sudah seharusnya kita pilih suara terbanyak saja, ya. Atiya silahkan maju ke stage," ujar Andin.

Mementingkan kebahagiaan bersama, terus kebahagianku tidak diperhitungkan? Semua orang tampak sangat bahagia sekarang, tapi aku justru seperti akan menemui ajal. 

Aku menggeleng keras, "Gue nggak bisa nyanyi, Din. Suara gue jelek," tolakku memasang muka semengenaskan mungkin. Ekspektasiku ke reuni yang menyeramkan hanya jadi gunjingan dan aku hanya perlu tersenyum, menyapa teman-teman lama, lalu pulang tanpa banyak bicara. Tujuanku hanya untuk meyakinkan bahwa masa lalu sama sekali bukan penyebab keabsenanku dan aku bukan Atiya yang sama seperti dulu.

"Atiya nipunya kelewatan banget. Sorakin dong teman-teman. Maju-maju!"

"Maju-maju!"

Suara-suara itu memenuhi telinga. Rasanya begitu tidak nyaman. Tapi karena keluhanku pasti tidak akan dihiraukan, dengan sangat terpaksa aku berdiri dan mulai berjalan ke mini stage, menuju Andin dan Ethan yang sudah tersenyum lebar penuh kemenangan. Ragu itu masih selalu ada, langkahku yang biasanya selalu tegas dan penuh percaya diri, kali ini hilang entah kemana. Dengan respon yang kayak begini justru tidak akan menghasilkan efek apa-apa untuk tujuanku. Kurang dari 30 orang di ruangan ini bisa saja berhipotesis sebaliknya.

Tentang Kita yang Dulu| REMAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang