12. Romantis Versimu

4.7K 447 55
                                    


"Jika tembokmu sudah terlalu tinggi, masihkah ada ruang untukku meletakkan pintu disisinya?"

***

Kelelahan dan kurang gizi menjadi penyebab utama Arva demam tinggi. Sebenarnya aku rada tidak menyangka laki-laki itu bisa sakit dengan penyebab yang bukan dia banget. Kalau kelelahan mungkin aku masih bisa mengerti, tapi kurang gizi? Serius, orang seperti Arva yang biasa makan 3 kali sehari serta mesti 4 sehat 5 sempurna bisa kurang gizi? Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, apa yang sebenarnya laki-laki itu alami belakangan ini. Memang pekerjaannya seberat apa sampai dia jarang makan?

Aku melirik Arva yang sudah nyaman tiduran di bed. "Masih sanggup bangun?" tanyaku menyiapkan bubur dan sup ayam yang aku pesan di atas overbed table.

"Berdiri pun masih sanggup, Ya," kekeh Arva yang sudah duduk tegap menunggu makanannya siap.

Aku memutar mata malas, aku tahu dia tidak melucu bahkan jika disuruh lompat-lompat Arva akan manut seperti orang tidak tahu kapasitas diri sendiri. "Mau soto atau bubur?"

"Kamu masak?"

Aku mengangguk. "Bubur iya, sup pesen gofood."

"Bubur deh, supnya buat kamu aja."

"Gue pesan 2."

"Kalau gitu kita barengan makan sup. Buburnya sebentar aku makan. Nggak papa kan?"

"Labil banget," cibirku jutek, walaupun aku tidak masalah dengan pilihannya. Ya memang akan sangat sia-sia kalau Arva membiarkan supnya dingin demi bubur buatanku yang tidak seberapa.

Arva tertawa kecil. "Aku suka bubur dingin, apalagi buatanmu."

Aku menatap Arva jengah. "Gue pulang ya Ar, kalau masih mau alay," keluhku. Sekedar informasi, sepanjang perjalanan menuju UGD kerjaan Arva hanya cengengesan tanpa sebab. Seandainya mukanya tidak pucat ditambah suhu tubuhnya tidak seperti air mendidih, aku tidak akan percaya dia sakit karena tingkahnya sama sekali tidak menunjukkan perilaku orang sakit pada umumnya. Kalaupun sakit, prediksi yang paling mungkin ya dia sakit jiwa.

"Memangnya kamu tega?"

"Memangnya lo penting banget sampe gue nggak tega?"

"Nggak juga. Tapi, kita officially udah temenan. Teman harus saling tolong-menolong kan?" tanya Arva retoris dengan senyum tidak mau kalahnya.

Aku mengangkat bahu. "Gue bisa bantu telepon kenalan lo," balasku enteng.

"Aku nggak punya teman dekat di Jakarta," sanggah Arva lengkap dengan ekspresi mirisnya.

Aku geleng-geleng kepala tidak percaya. "Daripada ngibul, mending supnya dimakan sekarang, Ar."

"Kamu makan juga kan?"

"Iya," jawabku dan mulai duduk menikmati supku sendiri tepat di samping bed Arva.

Tidak ada percakapan yang berarti selama acara berjudul dinner di UGD ini berlangung. Aku juga tidak ingin bertanya macam-macam sebanyak apapun pertanyaan yang bermunculan di kepalaku. Sesekali aku memperhatikan Arva yang menikmati makanannya dengan lahap, mulai proporsi wajahnya dari jarak pandangku yang cukup dekat hingga caranya makan.

"Kamu nggak mau tanya apapun, Ya?" tanya Arva setelah hening beberapa saat. Menyusul dengan wajahnya yang tiba-tiba menoleh membuatku refleks buang muka dengan salah tingkah yang luar biasa memalukan. Sementara Arva tertawa meledek sebagai tanda jelas kalau dia sadar sudah aku perhatikan.

"Tanya apa?" tanyaku kaku menutupi rasa malu.

"Apapun yang buat kamu penasaran."

Aku menggeleng. "Nggak ada."

Tentang Kita yang Dulu| REMAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang