“Ya, lo serius udah baikan sama Arva?” Wajah shok Zoya tampak jelas bahkan sampai menembus layar hp.
“Kenapa? Nggak boleh?” sinisku malas.
“Nggak gitu, Ya. Maksud gue, gimana ceritanya? Sejak kapan?”
“Lupa cerita. Pulang dari Bandung dulu gue tolongin temen terus ketinggalan kereta, karena kereta berikutnya nggak bakal keburu dan siangnya ada rapat, ya udah minta barengan sama Arva. Toh dia mau ke Jakarta juga. Nidya ama Meta udah tau, kok.”
“Sekarang mah gitu, circle dalam circle,” seloroh Yura minta dijitak.
“Ya Gusti Allah, kan lupa, Ra.”
“Punya nomornya, Ya?” Sela menukik alis penasaran.
“Hanya ingat alamatnya.”
“Jadi lo samperin ke rumahnya, gitu?”
“Iya.” Reflek aku memukul bibir panik karena sadar sudah keceplosan. Padahal sudah kuniatkan jangan sampai Barcelona tahu betapa kelihatan murahnya aku waktu itu, telan air ludah sendiri pula. Wajah Nidya, Zoya, Yura, bahkan Sela berubah cengo, lengkap dengan tatapan seperti dunia akan kiamat. Sial, aku menggali kuburan sendiri.
“What the f-?! Lo nggak cerita bagian itu yah, Ya!” Nidya hampir mengumpat.
“Cegil parah lo, Ya,” Yura menyahut pelan seperti sudah habis kata-kata.
Aku menggaruk tenguk ikutan stress. “Gue nggak ada pilihan, itu doang yang muncul dan masuk akal. Walaupun absurd, semenjak itu gue sama dia teguran lagi. Itu yang kalian mau, gue sama Arva baikan. Finally, i did,” jelasku terburu-buru.
“Calm, Ya. Nggak ada yang judge, loh,” seloroh Meta menyunggingkan senyum seribu misteri.
Aku mencebik. “Pikiran kalian itu suka merembes kemana-mana.”
“Sekarang jujur, udah sejauh apa perkembangan pertemanan lo sama Arva?” Yura dengan sengaja menekankan pada kata ‘teman’.
“Biasa saja. Satu yang bisa gue simpulin, Arva sekarang lebih luwes, banyak ngomong juga. Padahal tadinya gue kira Arva masih nggak suka sama gue.” Mengangkat bahu seolah tidak peduli, aslinya dadaku selalu bergemuruh ribut saat memikirkan Arva bisa saja pernah membenciku karena kesalahanku dulu yang berakibat pada hubungan pertemanan kami.
“Tahu dari mana Arva nggak suka sama lo? Pikiran lo itu suka mengkorelasi setengah-setengah Ya, ujung-ujungnya lo dapet apa? Cuman tebakan nggak berdasar.” Sela melirik sinis.
Aku menarik nafas dalam. “Bahkan setelah dengar cerita Ema, Arva lupain gue?”
“Tentu, lupa bukan berati nggak suka. Mungkin dasarnya lo nggak sememorable itu buat dia? Itu tebakan juga, alasan lainnya who knows.”
Tidak memorable bagi Arva? Aku terdiam memikirkan tebakan itu bisa jadi benar. Jika iya, mungkin aku akan sedih. Bagaimanapun aku meletakkan pertemanan kami sebagai objek rasa bersalahku selama ini, perasaan itu rasanya sia-sia jika Arva justru tidak menganggapnya bermakna.
“Itu tebakan Ya, jangan dibawa serius.” Meta berusaha meredakan kecemasanku. “Mending tanya Arva langsung, kalian udah baikan dan saling bicara kan?”
Pada akhirnya aku mengangguk membenarkan. Jangan sampai karena terkaan-terkaanku merusak pertemanan kami yang baru baik lagi setelah 13 tahun, ralat 14 lebih setengah tahun yang terbuang sia-sia. Jangan sampai aku melakukan kesalahan kedua kali. Jangan sampai. Aku dan Arva sudah officialy berteman lagi, sudah tepat untuk bertanya kenapa dia berlagak pongah saat kami bertemu di reuni beberapa bulan lalu. Lagian, ini bisa menjadi topik pembicaraan, karena aku dan Arva masih sering canggung sehingga sulit menemukan topik baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita yang Dulu| REMAKE
Literatura FemininaAtiya Tatjana Almira sudah lama meninggalkan perasaannya untuk Arvalio Ghifary Atmawardoyo- teman sekaligus pria yang ia sukai saat SMP. Meninggalkan perasaan termasuk juga meminimalisir segala kemungkinan yang bisa membuatnya kembali bernostalgia d...