9. Dealing With Guilt

4.8K 510 77
                                    


"Alasan yang sebenarnya ada pada dirinya sendiri, itu urusannya. Termasuk ketika dia hanya memacu pada rasa bersalah yang masif."


***

Kalau nggak lagi di Bandung, Minggu pagi sampai siang bolong adalah waktuku tidur setelah begadang semalaman. Tidak ada yang bisa menandingi rasanya turu sampai plong, sayangnya Meta dan Nindy malah merusak semua ekspektasiku tentang Minggu pagi yang indah. Bukannya turu betulan, pukul 6 pagi justru aku sudah diseret ke GBK dengan dalih karena tidak pernah olahraga, maka aku harus diseret pake jurus pemaksaan. Ya nggak salah sih, aku juga sudah lupa kapan terakhir kali aku jogging seperti manusia tanpa beban. Yang jadi masalah aku sudah lupa cara lari yang baik dan benar, jadinya baru 400 meter yang kulalui dengan sangat tersendat-sendat, kakiku rasanya mau copot. 

"Kita jalan aja ya? Demi, gue mau pingsan," keluhku sudah terduduk di tepi lintasan sambil menarik lengan Nindy dan Meta supaya tidak lanjut lari. 

"Baru 400 meter, Tiya," ujar Nindy gusar.  

"Ayo Ya, sedikit lagi. Masa track lari lo dikalahin Yura, sih! Dia aja bisa sekilo nggak berhenti," Meta menambahkan sementara aku sudah geleng-geleng tidak peduli. 

"400 meter lo bilang sedikit?! Finis-finis gue bisa sisa tubuh, Ta," balasku sebenarnya mau nyolot, tapi nafasku yang masih tersenggal membuatku tidak jadi melakukannya. 

"Terus lo mau nunggu di sini? Sendiri? Yakin?" Tanya Nindy sangsi.  

Aku mengerucut sebal, tapi akhirnya mengangguk pasrah saja. Yah daripada mati di jalan kan, aku itu tipe manusia yang tahu batasan. "Udah sana, gue tunggu di gerbang masuk." 

"Mending ikut mutar, Ya. Kalau balik juga tetap 400 meter lagi," saran Meta yang kusambut tetap sebuah gelengan. 

"Terus kalian ninggalin gue ditengah-tengah. Nggak, terima kasih. Gue jalan balik aja," tolakku keukeuh.  

Karena aku keras kepala tidak mau lanjut, sementara dua perempuan itu sudah lelah membujuk, jadilah aku ditinggal betulan. Ikut lari atau tidak, tetap saja akhirnya aku pasti ditinggalkan. Menurut pengalaman, mereka tidak akan lari cuman 1 putaran, karena 1 kilo saja belum cukup untuk menuntaskan hobi lari mereka. Rata-rata anggota Barcelona begitu semua, kecuali aku karena kabarnya Yura pun sudah jago lari sekarang. 

Setelah istirahat sebentar, aku mulai jalan santai sambil memperhatikan orang-orang yang kulalui. Seperti biasa GBK selalu ramai, itulah kenapa aku jarang ke tempat ini kalau tujuannya hanya joging. Bukannya tidak suka keramaian, aku justru senang bertemu apalagi sampai berbincang dengan orang baru. Cuman ya aku tahu diri tidak bisa lari sekaligus tidak suka dianggap remeh, ketidakjagoan dan ego tinggi membuatku malu kalau cuman jalan di tengah-tengah orang yang berlari walaupun aku tahu bukan hanya aku yang jalan. 

Beberapa saat aku masih rileks menikmati segala sudut yang aku amati, sambil menghayal karena cuaca kebetulan sangat bagus pagi ini. Sampai kemudian mengerut bingung saat pandanganku jatuh pada titik yang berlari semakin dekat. Wujud itu tampak familiar dan saat aku sadar orang itu memang kenalanku, aku tiba-tiba jadi ingin berbalik lalu pura-pura tidak lihat. Naasnya mau pura-pura bagaimana, kalau orangnya sudah sadar duluan. Parahnya dia tidak sendirian, ada segerombolan yang mengikut di samping juga belakangnya, mungkin sekitar 8 orang. 

Tidak ada cela untuk menghindar, aku berusaha untuk biasa saja, tetap seperti sebelumnya. Namun, orang yang tidak lain adalah Arvalio itu membuatku serasa dirundung canggung saat dia benar-benar berhenti tepat di depanku, aku jadi terpaksa ikut berhenti juga.  

"Pagi, Tiya," sapanya tidak lupa memancarkan senyum yang tidak kalah cerah dari matahari dan teman-temannya telah secara terang-terangan menjadikanku objek tontonan. Mana ganteng-ganteng semua lagi! 

Tentang Kita yang Dulu| REMAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang