10. Kita (tidak) Boleh Berjarak

4.5K 490 39
                                    


"Kita hanya perlu satu langkah lagi untuk benar-benar saling melupakan."

***

Arva:
Tiya
Sore ini ada acara?
📷

Sambil makan burger, aku memperhatikan bilah notifikasi yang menunjukkan keberadaan nama Arva di sana. Lagi-lagi laki-laki itu, dia terlalu rajin mengirim pesan akhir-akhir ini. Sejak hubungan kami yang lumayan membaik, dia jauh lebih nyeleneh dari Arva yang aku kenal dulu. Dia bisa tiba-tiba mengirim foto random di hutan yang katanya sedang menunggu mangsa. Aku tidak tahu menahu pekerjaan polisi-polisi dari satresnarkoba itu seperti apa. Mungkin kali ya dia seperti polisi yang muncul di reality show-nya Net 'Siap 86', yang kerjanya menyamar kemana-mana. Selain fakta kalau satresnarkoba itu memberantas narkoba, aku tidak tahu mekanismenya bagaimana dan tidak begitu peduli juga.


Selain foto di hutan, Arva juga sering kali atau terlalu sering mengirim pap entah sendiri maupun dengan teman-temannya. Kali ini pun sama. Beserta dengan pesan, ada pula fotonya yang entah dimana. Mungkin dia sedang mencari mangsa seperti biasa.

 Mungkin dia sedang mencari mangsa seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Me:

Nggak

Arva:
Jalan yuk....

Me:
Aku lagi ada kerjaan, Ar

Arva:
Serius? Biar sore juga ada?


Tidak sempat membalas pesan Arva, suara Pak Adam yang mengaung membuatku cepat-cepat mematikan ponsel.

"Tiya, saya mau bicara." 

Aku menengok bingung, ternyata langkah si Bapak juga ikut mendekat. Aku otomatis berdiri dan menaruh burgerku kembali masuk dalam kemasan.

"Iya Pak, ada apa?"

"Sebelum itu, ini buat kamu. Saya nggak tahu kesukaanmu apa, tapi saya lihat kamu sering minum cappuchino," katanya dan menyodorkan cup starbucks yang tadi dia pegang. 

Aku mengernyit heran. Tentu tidak begitu saja menerima, walaupun jelas-jelas itu cappuchino dan lebihnya adalah starbucks. Yang pertama perlu dipastikan adalah keberadaan manusia lain di ruangan ini. Aku mengerling penuh ketelitian untuk memastikan kalau semua orang sudah pergi makan siang dan tidak berdiam diri kubikelnya. Aku bukan orang yang peduli apa kata orang. Tapi sebagai manusia, aku tetap tidak senang dijadikan bahan gosip dan sebagai karyawan, aku tahu betul berita menyangkut aku dan Pak Adam merupakan gosip paling panas yang mereka tunggu-tunggu. Dikasih kopi begini seperti menyebar api di tumpukan jerami. 

"Yang lain pada makan di kedai depan. Ambil aja, nggak ada yang lihatin." Pak Adam mengerling ke cup kopi yang masih nangkring di tangannya.

Aku yang gelagapan akhirnya menerima cup tersebut dengan senyum menyungging harus sopan. "Terima kasih, Pak."

Tentang Kita yang Dulu| REMAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang