.p r a k a t a.
Gue pernah ada di fase jatuh sejatuh-jatuhnya karena laki-laki. Waktu SMP, bukannya mencari jati diri, gue malah terjebak dengan mencari taktik yang pas untuk terlihat epic, indah, dan mempesona di depan laki-laki yang gue suka.
Di ekonomi ada istilah opportunity cost. Biaya yang direlakan akibat memilih satu dari beberapa alternatif pilihan yang lain. Dalam hal ini, opportunity cost- nya adalah diri gue sendiri karena memilih untuk terlihat mempesona. Pilihan paling gegabah yang akhirnya menempatkan gue ke posisi defisit aka. rugi.
Saat itu, gue kehilangan kenyamanan atas diri sendiri, kebebasan, dan momen-momen yang seharusnya menjadikan gue orang yang lebih bahagia. Gue terjebak dalam kungkungan bayang-bayang kalau gue nggak boleh terlihat jelek di depan doi. Efek yang ditimbulkan justru buat gue sering nangis dan menyalahkan diri sendiri. Sementara kata orang cinta monyet zaman remaja seharusnya jadi hal yang wajar dan menyenangkan, tapi gue nggak bisa menemukan kesenangan dan kewajaran untuk konsekuensi yang disebabkan.
Masuk SMA, gue ketemu sama banyak orang baru. Mereka mengaku sanggup untuk bersikap biasa aja di depan orang yang mereka suka. Perbedaan cara penerimaan membuat kasusnya jadi tampak beda banget, walaupun sebenarnya sama. Belakangan gue sadar kalau tingkah gue yang over ekspresif lah yang sebenarnya buat semuanya jadi runyam. Belakangan juga gue tahu kalau doi udah ada gebetan. Setelah itu, barulah gue masuk ke fase pencarian makna diri.
Di SMA gue mulai rajin belajar dan kembangin apa yang gue suka. Gue mulai sadar kalau gue punya terlalu banyak mimpi untuk di gapai, dibanding harus bermimpi tentang satu laki-laki. Kalau dulu gue sering bilang ke teman-teman gue kalau 'gue terlalu astaghfirullah untuk dia yang subhanallah', sekarang gue justru bilang 'gue terlalu luar biasa untuk dia yang biasa aja'.
Dan akhirnya yaa, gue ketemu dia dengan proporsi paling sempurna dari diri gue sendiri.
Cerita ini datang dari kisah gue yang tadi. Gue pengin kalian lebih mencintai diri sendiri dulu sebelum mencintai orang lain. Kehilangan orang lain lebih mending daripada kehilangan kendali atas diri lo sendiri. Setelah itu, punya prinsip adalah kunci. Seberkelok-kelok apapun hidup lo. Rasa suka pun walau kadang-kadang terasa bagai beban, tapi beban itu pada akhirnya bisa menjadikan lo lebih dewasa. Tanpa rasa suka dan penolakan pun gue nggak tahu bisa jadi gue yang hari ini atau enggak. Dari sini, keyakinan atas apapun takdir yang digariskan Tuhan adalah paten dan wajib.
Bagaimana harapan yang terlalu ditinggikan bisa membuat rusak? Bagaimana keluar dengan versi terbaik adalah hal paling membanggakan? Bagaimana efek cinta pada hidup dan prinsip seseorang? Bagaimana perempuan dengan prinsip-prinsip dalam hidupnya?
Gue pengen kalian menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut di cerita ini.
.d e p i c t i o n.
Atiya Tatjana Almira
Arvalio Ghifary Atmawardoyo
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita yang Dulu| REMAKE
Literatura FemininaAtiya Tatjana Almira sudah lama meninggalkan perasaannya untuk Arvalio Ghifary Atmawardoyo- teman sekaligus pria yang ia sukai saat SMP. Meninggalkan perasaan termasuk juga meminimalisir segala kemungkinan yang bisa membuatnya kembali bernostalgia d...