part 6

34.9K 536 6
                                    

Jin Penunggu Cincin

#part 6

#R.D.Lestari.

Aku yang masih shock langsung berdiri dan memeluknya erat. Tangisku pecah saat itu juga.

"Dek? kenapa nangis? ada apa?" cecarnya.

"Abang dari mana? kenapa kok hilang?"

"Abang ga hilang, Dek. Dari tadi Abang ada kok di rumah,"

"Tapi, dari tadi di cari ga ada!"

"Ada, Dek. Abang tadi dari ...,"

"Lha, Abang kan lagi makan, Dek. Abang aja lihat Adek lari kesana-kesini nyariin Abang, makanya Abang susul,"

"Abang!" meski terkesan lebay, Aku tak perduli. Kupeluk suamiku itu dengan penuh kasih sayang. Memeluknya erat. Sangat erat hingga kurasakan Bang Wildan kesulitan bernapas.

"Dek?" lirihnya. Tangan kekarnya membelai rambutku lembut.

"Kenapa, Dek?" tanyanya khawatir, ia mengurai pelukan kami dan membingkai wajahku dengan kedua tangannya.

"Ga apa, Bang. Cuma tadi punya firasat buruk aja, Bang," tangisku tiba-tiba pecah saat menatap matanya yang menyiratkan ketulusan.

Aku bisa apa? cintaku pada Bang Wildan begitu besar, tapi tak mampu menolak pesona makhluk jadi-jadian itu saat ia menyentuhku. Sia*an memang!

"Udah, Dek. Jangan pikir macam-macam. Semua itu cuma mitos,"

"Dek, Abang pengen, Dek ... sebelum pergi kerja, Abang minta, ya?" Bang Wildan mengecup pipiku mesra.

Aku mengangguk pelan. Ia sempat mengendus leherku dengan kencang. Sepertinya Bang Wildan sangat bernafsu karena wangi tubuhku.

Ia menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.
Melucuti satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya dan menciumiku dengan sangat bernafsu.

Aku begitu ia manja, tapi entah kenapa ada yang lain di hatiku. Rasanya hambar, meski Bang Wildan memberi sentuhan yang bertahun kurasa. Terlalu biasa. Apa karena aku merindukan sentuhan makhluk penunggu cincin itu?

Aku menggeleng kencang di tengah napas Bang Wildan yang memburu dan tubuhnya yang naik turun.

Aku pasrah. Nafsu itu hilang begitu saja. Yang kulihat hanya peluh yang membanjiri wajah suamiku yang nampak kelelahan.

Tak lama kurasakan hangat dan Bang Wildan berbaring dengan napas yang ngos-ngosan. Ia langsung meraih ponselnya yang ada di atas nakas samping ranjang saat benda kecil itu berdering.

Alisnya mengernyit saat menatap layar HP sambil berbaring. Ia mendesah lirih.

"Abang mau tidur, ya, Dek. Boleh?"

"Lha, Abang ga jadi pergi kerja?" tanyaku menyelidik. Bukankah tadi ia bilang mau pergi bekerja?

"Ga jadi, Dek. Orderan di pending. Sekaligus tiga. Jadi, Abang bisa santai," ucap Bang Wildan sembari menggerakkan tubuhnya ke samping.

Aku menatap nanar tubuh suamiku yang berisi. Sedih seketika menyelusup relung jiwaku. Bagaimana ini? apa ini ada kaitannya dengan sosok itu?

Tak lama Kudengar dengkuran keras darinya. Sangat cepat ia terlelap. Apa ia memang terlalu lelah?

Aku begitu terenyuh. Demi cintanya padaku, Bang Wildan harus berjuang sendirian.

Aku menggegeser tubuh ke pinggir ranjang dan melangkah memutari ranjang, merunduk, menatap tubuh suamiku dengan seksama.

Wajah lelah terpahat di sana. Kening mengkerut dan lingkaran mata yang menghitam. Pertanda kurang tidur.

Cup!

Kukecup pipinya sayang. Rasa bersalah itu semakin besar. Semua pasti karena aku ... rezeki suamiku hilang. Pasti ... itu pasti .

Aku melangkah gontai menuju dapur, membiarkan suamiku yang baik hati itu terlelap di peraduan kami.

Peraduan yang sama ketika aku bercinta dengan makhluk cabul itu. Akh! bisa-bisanya aku memikirkannya! semua pasti gara-gara dia!

Aku meraih gelas kaca, berniat membuat secangkir teh untuk menenangkan perasaanku yang tak karuan.

Mulai mengambil teh dan menyeduhnya dengan air panas. Sesendok gula kutambahkan dan mulai mengaduk pelan.

Semilir angin sepoi-sepoi yang masuk dari pintu belakang membelai tengkuk, mengibarkan rambut panjangku yang tipis dan lembut.

Aroma teh melati bercampur vanila yang menguar membuatku merasa lebih rileks saat menghirupnya.

Tanpa terasa mataku memejam. Terasa berada di awang. Saat itu juga, entah bermimpi atau dalam keadaan sadar, kurasakan kecupan mesra di leher dan sesuatu yang meraba dipinggang hingga menjalar ke area dada.

"Akh ...," desahan itu lolos begitu saja merasakan nikmat yang tiba-tiba menyerang.

Kecupan disertai gigitan pelan itu mampu membuat gelanyar dalam diriku dan remasan pelan yang seketika membuatku bergelora.

Apakah ini Bang Wildan ... atau ...,"

Pranggg!

Aku tersentak saat terdengar seperti bunyi pecahan kaca. Seketika mata ini terbuka dan akupun berbalik ke belakang. Kosong! tak ada siapapun di dekatku.

Pandanganku mengedar kesegala arah. Hanya ada sesosok berbulu sedang menjilati tangannya di atas meja. Aku mendekat ke arahnya dan memunguti pecahan piring yang berserakan di bawahnya.

"Meauooow," serunya saat melihatku yang membersihkan pecahan kaca karena ulahnya.

"Apa? makanya Mama bilang, jangan makan-makanan sisa. Bukannya tadi Manis sudah Mama kasih makan pakai ikan dan tempe rebus?" omelku pada kucing berjenis persia berwarna putih hitam itu. Ia kembali mengeong dan mendekat ke arahku.

Namun, tiba-tiba bulunya berdiri dan ia berlarian ketakutan saat melihat ke arahku. Entah apa yang membuatnya tunggang langgang menjauhiku.

Seketika itu pula aku menoleh ke arah belakang. Tak ada siapa pun di sana. Aku kembali menghembuskan napas pelan.

Aneh, karena seharian ini Aku tak lagi di ganggu makhluk halus berpakaian seperti raja itu.

Teringat kata-kataku tadi pagi. Aku tak ingin bertemu lagi dengan dirinya. Ya, itu keinginanku sendiri, tapi kenapa rasanya tiba-tiba rindu?

Seumur hidup baru kali ini melihat sosok pria yang begitu tampan. Wajah Indonesia, dengan dagu lancip dan rahang yang tegas.

Alis mata yang tebal, tatapan teduh dengan retina berwarna hazel ( kuning kehijauan) bak zambrut katulistiwa.

Bibirnya tipis berwarna kemerahan dengan kulit putih yang bersinar. Bertubuh kekar dengan gurat-gurat urat nadi yang mencuat di antara otot tangannya.

Berambut panjang dengan ikatan di dahinya. Berhidung mancung dan deretan gigi yang rapi.

Meski kuakui aku mencintai suamiku sendiri, tapi tak bisa kuingkari perasaanku mulai terbagi.

Gil* memang! ini memang gil*!

Aku menyadari ini tipu daya jin. Aku tau itu. Namun ... Aku tak bisa menampik rasa nikmat yang ia beri.

Hanya dengan mendengar suaranya saja tubuhku bereaksi. Apalagi setelah melihat wujudnya yang teramat tampan.

Bang Wildan jika dibandingkan dengannya bagai langit dan bumi.

Aku bagai di perebutkan dua lelaki. Membuat pipi ini tiba-tiba memerah karena pikiranku sendiri. Apa aku memang secantik itu hingga makhluk dari bangsa lain tertarik padaku?

Jika memang aku bisa mendapatkan keduanya, apa boleh?

Mengingat semua bisa dijalani secara berbarengan tanpa takut ketahuan. Ya, aku mulai merasakan hal gil* menjalari tubuhku.

Benar-benar gil* karena aku rindu disentuh. Mulai membanding-bandingkan Bang Wildan dengan makhluk astral yang telah menyentuh tubuhku.

Lagian, bukankah kami sama-sama merasakan nikmat? bukan hanya kenikmatan yang ia berikan, tapi juga uang!

***

JIN PENUNGGU CINCINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang