Jin Penunggu Cincin#part 12
#R.D.Lestari.
Kendaraan roda dua itu kemudian ia hempas begitu saja. Lelaki bertubuh besar itu masuk tergesa, ia sudah tak sabar melihat tumpukan uang yang akan diberikan Jin tampan itu.
Namun, semuanya sirna. Senyum yang sempat terkembang berubah pias saat melihat ruangan kosong tanpa selembar uang pun.
Dengan langkah gontai dan kecewa, Wildan melangkah pergi. Kakinya terasa berat dan pandangannya berkunang.
Harapan untuk membelanjakan uangnya lenyap begitu saja. Padahal sudah beberapa hari ini ia tak punya pemasukan.
Motor ia kendarai pelan. Pupus sudah. Hari ini ia tak jadi mengganti motor bututnya. Kesal. Ini pasti berkaitan dengan Resti. Apa dia tak melayani Jin dengan baik?
Brakk!
Pintu ia dobrak saat memanggil nama istrinya berkaki-kali, tapi orang yang ia panggil tak menyahut apalagi membuka pintu.
Kesal pada istrinya, ia mencari Resti ke semua tempat, tapi wanita itu tak jua ia temukan. Ke mana dia?
***
Sore menjelang, Wildan tertidur dalam kondisi kesal. Seketika terbangun saat mendengar deru motor diteras rumahnya.
Dengan kondisi masih terhuyung karena kesadarannya masih belum penuh, ia melangkah menuju pintu depan dan membukanya.
Matanya berkilat marah saat melihat Resti baru saja turun dari motornya. Ia berkacak pinggang hendak menumpahkan amarahnya yang tak beralasan.
"Dari mana kamu?" tanyanya dengan nada penuh penekanan.
Resti yang baru saja menginjakkan kakinya, tersenyum lebar pada laki-lakinya itu.
"Abang!" serunya riang. Ia berlari mendekati Wildan dan hendak memeluknya, tapi dengan sigap Wildan menangkisnya.
Resti menatapnya sedih. Ada apa dengan suaminya itu? kenapa wajahnya menyiratkan amarah yang teramat sangat?
"Kenapa, Bang?"
"Kamu dari mana? kenapa sore baru pulang?" omelnya sembari memutar tubuh dan masuk ke dalam rumah.
"A--Adek tadi dapat panggilan kerja, Bang, dan alhamdullilah ke terima," jawabnya dengan takut-takut.
"Ngapain kerja, kalau dengan di rumah aja kamu bisa dapat uang banyak, yang penting kamu itu tinggal layani ...," Wildan menghentikan ucapannya. Hampir saja ia keceplosan.
Resti menatap tajam suaminya. Matanya seolah menuntut jawaban. "Tinggal layani? maksud Abang?"
"Ah, sudahlah. Terserah kamu lah. Aku lelah," Wildan berlalu begitu saja masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Resti yang masih mematung seorang diri diambang pintu.
Hingga malam menjelang, Wildan tan juga mau menyapa Resti. Ia nampak acuh. Resti yang memang sudah lelah, memilih tidur memunggungi suaminya.
Apa segitu marahnya sampai ia tak ingin menyapa?
Dalam kesedihan yang teramat sangat, menghadapi sikap suaminya yang tiba-tiba kasar padanya. Apalagi ia dengan tegas menolak bertemu dengan makhluk tampan itu.
Ia bagai terbuang, menangisi nasibnya yang serba salah. Perlahan mata basah itu terpejam dan terlelap. Begitu lelah dan beratnya beban yang ia pikul hingga lupa jika perutnya belum terisi sedari pagi, dan kini tertidur dalam keadaan perut yang pedih dan keroncongan.
***
"Abiseka ... maaf ...," tangisku pecah saat melihat sosok tampan itu memunggungiku di kejauhan.
Di antara pendar cahaya bulan purnama yang berwarna keemasan. Memantulkan sinar indahnya di atas padang rumput dan bunga-bunga liar berwarna-warni.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENUNGGU CINCIN
Lupi mannariSebuah Cincin bermata biru yang merupakan warisan dari Pakde suamiku membuat rumah tanggaku hancur. Mampukah aku lepas dari makhluk penunggu cincin yang memberikanku nikmat dan kepuasan?