05. Luka, Rela, dan Tanah Sunda

401 63 14
                                    





Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Nata tidak terlalu paham bagaimana filosofi tentang kopi secara mendalam, tapi ia sudah akrab dengan minuman itu layaknya sahabat yang selalu menemani setiap hari. Setelah makan siang merangkap sarapan yang di buat ala kadarnya, Nata membuat secangkir kopi yang kemudian ia bawa merenung di balkon kamar. Padahal yang ia lakukan hanya terus menghela nafas dan menerawang jauh menembus awan-awan yang bergerak di atas sana.

Sekitar tiga tahun lalu, setelah Nata menyelesaikan program sarjana, Papa memberikan apartemen sebagai hadiah kelulusan. Waktu itu Nata sempat menolak karena merasa hadiahnya terlalu berlebihan. Nata tahu mereka mampu, tapi ia merasa sudah seharusnya memulai mencari kehidupannya sendiri tanpa bantuan orang tua lagi. Yang Nata ingat waktu itu papa menolak, mengatakan bahwa tentu saja dirinya berhak menerimanya.

"Papa sama Mama cuma punya kamu Na. Kalo bukan kamu, siapa lagi yang papa carikan uang selama ini?" Begitu kira-kira.

Akhirnya Nata menerima dengan mengajukan syarat, bahwa setelah itu mereka tidak boleh ikut campur masalah pekerjaan. Nata hanya ingin mengatur dan berdiri dengan usaha sendiri. Dan fine, Papa mengijinkan. Meskipun sepertinya Papa sedikit kecewa karena Nata tidak ingin berkecimpung dalam bisnis keluarga. Tapi Papa mengalah, tidak ingin memaksa kalau memang Nata tidak mau melanjutkannya. Tidak untuk sekarang, mungkin nanti?.

Dan di tempat inilah Nata memulai kehidupannya sendiri. Mulai dari bekerja, mengumpulkan rupiah demi rupiah gaji yang kata orang-orang tidak sebesar ketika ia memilih bekerja di perusahaan besar. Tapi Nata betulan tidak perduli, karena yang ia pikirkan hanya bekerja sesuai keinginan hatinya. Keluarganya pun tidak menuntut anak tunggalnya ini harus berada di posisi lebih tinggi dari pada mereka. Dan yang penting adalah bagaimana Nata hidup mandiri serta menjalani proses mendewasakan diri.

Sebagai anak tunggal, Nata tentu sangat berkecukupan baik dari segi materi maupun limpahan kasih sayang. Dan saat tinggal sendiri, Nata merasa harus beradaptasi lagi. Yah meskipun dirumah ia masih lumayan sering mengerjakan pekerjaan rumah, namun saat tinggal sendiri Nata merasa kewalahan untuk mengurus diri. Terkadang Nata bisa bangun terlambat dan berakhir tidak sarapan, atau merasa kesal karena pakaian kotor dan deadline kerja sama-sama menumpuk, bahkan sampai membiarkan sayur-sayur segar kiriman Mama membusuk di dalam kulkas karena lupa di masak.

Maka dari itu Mama dulu sering datang ke apartemen hanya untuk sekedar mengecek, bahkan awal-awal dulu Mama sampai menulis notes agar putranya tidak salah ini dan itu lagi. Dan Nata selalu merasa bersyukur bahwa mereka sangat perduli dan menuntun, tidak lupa untuk memberi tahu kesalahan-kesalahan yang telah ia lakukan.

Dan sekarang setelah berpikir tentang kesalahannya yang begitu besar, apakah mereka akan kembali menuntun dan memaafkannya? Dalam hatinya, Nata benar-benar merasa takut kalau ia begitu mengecewakan hingga tidak mampu untuk di maafkan. Lantas siapa nanti yang akan menerima dirinya selain mereka? Kalaupun nanti orangtuanya memaafkan, adakah harga yang harus dibayar untuk semuanya? Nata merasa begitu kalut karena ketakutannya sendiri.

So lets Love | Na Jaemin - Winter aespaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang