"Terus gimana responnya?"
"Lo mabuk apa gimana?" Nata yang percis menirukan perkataan Wina saat mendengar ajakan dirinya. Tak ayal hal itu pun langsung membuat teman-temannya tertawa. Terutama Haidan yang sampai terpingkal-pingkal. Nata hanya mendengus pelan melihatnya.
Untuk yang kesekian kali, mereka berempat berkumpul di apartemen Bara. Tentu saja untuk membahas masalah Nata. Karena di antara mereka berempat, masalah Nata saat ini adalah yang paling memusingkan mereka semua.
"Bwahahahahaha."
"Ya iyalah Na."
"Terus?"
Nata mengendikkan bahu acuh. "Terus dia pergi gitu aja."
Rendra mengangguk paham. "Wajar aja sih dia kayak gitu. Pertemuan kalian aja awalnya nggak baik, gimana nggak di katain mabok kalo lo tiba-tiba ngajak nikah." Ya memang sih. Jangankan Wina, mengingatnya kembali saja membuat Nata juga terheran-heran dengan dirinya sendiri. Entah kesambet apa ia bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu.
"Tapi Na, Nikah itu bukan mainan." Keempat lelaki itu seketika terdiam ketika mendengar perkataan Rendra. Bara, dan juga Haidan diam sambil melirik Nata yang sedang termenung. Mungkin sedang memikirkan perkataan Rendra barusan.
Nata tahu, sangat tahu malah. Namun jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam Nata juga merasa tidak bermain-main dengan perkataannya. Hanya saja perkataannya yang spontan itu memang terkesan tidak tulus.
"Bener tuh kata Rendra. Emang Lo udah suka sama si Wina, Wina ini? bukannya itu cuma rasa bersalah dan tanggung jawab aja?"
Nata lagi-lagi hanya bisa terdiam mendengar kalimat yang kali ini di lontarkan Bara. Benar, memangnya ia sudah menyukai Wina? apakah benar ia mengatakan itu hanya karena merasa bersalah dan bersedia bertanggung jawab saja?
"Kalo lo belum siap membuka hati lagi, mending jangan dulu deh Na. Bukan hanya lo, tapi kasian dia juga. Kalo misalnya dia beneran nikah sama lo, bayangin aja udah nikah paksa, nggak bahagia, terus juga nggak saling cinta. Kalo mau menderita, jangan bawa-bawa anak orang lah Na. Inget, kita bukan cowok yang kayak gitu." Rendra melanjutkan dengan panjang lebar. Lelaki satu itu memang paling ahli dalam hal menasehati hal begini.
Nata diam merenungkan. Lantas dirinya harus bagaimana? ingin membiarkan saja pasti akan di kira tidak bertanggung jawab, ingin bertanggung jawab di kira ingin membuat anak orang sengsara, terlebih yang di ajak menikah juga tidak mau. Jadi Nata harus bagaimana sebenarnya?
Melihat Nata yang hanya diam saja, Haidan tiba-tiba teringat sesuatu.
"Tunggu-tunggu, jangan bilang lu masih gamon sama Hagia? yang bener aje lu? gue pecat jadi temen gue lu kalo masih ngeharepin tuh cewek nggak tau diri." Tuduh Haidan menggebu-gebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
So lets Love | Na Jaemin - Winter aespa
Fiksi Penggemar"Aku tahu, kita pernah sama-sama terluka. Tapi, apa aku salah kalau aku juga ingin bahagia?"