Baik Romeo maupun Sarah, keduanya mulai menampakkan perubahan. Semisal Sarah yang berani menyuarakan pendapat terhadap perilaku Marisa setiap kali hendak menjatuhkan tantrum terhadapku. Dia pasti akan langsung maju dan membuat celah bagiku kabur sejauh mungkin dari jangkauan Marisa. Untuk yang satu itu, aku sangat berterima kasih.
Lalu, Romeo. Dia hanya mengekoriku ketika makan dan berangkat sekolah. Kadang dia membantuku masak dan menemaniku makan. Hanya pada waktu itu saja dia menempeliku. Demi mengurangi frekuensi pertemuan, aku bersedia membuatkan bekal makan siang. Dia tidak pernah protes terkait menu apa pun yang aku hidangkan. Makan dengan lahap seolah masakanku luar biasa nikmat.
Perkembangan lain yang bagus dari Romeo. Dia benar-benar serius mengejar mimpi sebagai orang sukses. Di kelas dia aktif, ikut kegiatan tambahan, dan mulai les pelajaran terkait bisnis manajemen. Hal tersebut membuat anak sekelas (ketika aku bilang sekelas, itu artinya cuma berlaku bagi cewek saja) merasa kehilangan.
Sarah dan Romeo. Keduanya tidak lagi terikat dalam hubungan beracun. Sarah memilih masa depan, sama seperti Romeo, begitupula diriku. Kami tidak akan saling menyakiti seperti yang Tiara tuliskan. Hanya karena Laura, aku, berubah maka semua jalan cerita pun turut berubah tanpa aku maksudkan demikian.
Bagus dong. Ini seperti sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Keren.
Sekarang aku tengah di kelas. Guru bahasa memberikan materi mengenai suatu novel yang mengisahkan seorang gadis dengan gangguan mental. Gadis itu tidak memiliki minat terhadap hidup, mengasingkan diri, dan pada akhirnya memilih mati.
“Tokoh utama perempuannya menjijikkan,” sahut salah satu cewek ketika guru bertanya mengenai pendapat kami. “Penderita kanker saja masih memiliki harapan hidup. Dia sehat fisiknya dan seharusnya mampu bertahan jauh lebih baik daripada penderita kanker.”
‘Anak ini,’ gerutuku dalam hati. ‘Sama sekali tidak memahami tujuan penulis menciptakan karakter demikian.’
Mendadak ada sesuatu yang terbakar dalam diriku. Entah mengapa aku teringat Tiara; tentang perjuangannya menjadi orang bahagia agar tidak menjadi beban, malam-malam dia merasa kesepian dan seolah tidak ada satu manusia pun menghendakinya, kemudian perlakuan ibu kandung yang berat sebelah. Pendapat cewek ini mengenai karakter perempuan yang menderita depresi sebagai sosok menjijikkan jelas patut dikoreksi olehku!
Lihat saja. Aku tidak akan tinggal diam!
“Saya tidak setuju, Pak Guru dengan pendapat mengenai karakter utama itu memiliki sifat yang menjijikkan!”
Tanpa sadar nada suaraku melengking nyaring hingga membuat semua anak memperhatikanku dengan wajah melongo.
Telanjur basah, sekalian saja aku menyelam dan mencari belut laut.
“Ya, Laura.” Pak Guru, berbeda dengan anak sekelas, memperlihatkan ketertarikan dengan opiniku. “Coba jelaskan. Bapak tidak keberatan mendengar argumenmu mengenai tokoh utama kita.”
Usai berdeham, mencoba mengusir kecanggungan, aku pun berkata, “Membaca itu bersifat relatif. Tergantung pada siapa si pembaca dan tujuan orang tersebut membaca. Tidak ada karakter membosankan maupun cerita sampah, yang ada hanyalah perkara zona nyaman dan selera. Bagaimana bisa kita membandingkan cerita percintaan dengan cerita mengenai penyakit mental? Pasti beda. Akan selalu beda.”
“Oke. Bapak suka penjelasanmu. Lanjutkan, Laura.”
Setelah mendapat persetujuan dari Pak Guru, aku pun merasa perlu memberi pengertian terkait perkara baca. “Orang yang suka cerita dengan karakter perempuan kuat dan menyenangi akhir bahagia biasanya jarang tertarik dengan tema cerita berlatar masalah politik dan mental. Namun, beda cerita dengan tipe pembaca yang menyukai segala genre. Orang semacam ini tidak keberatan membaca jenis apa pun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Antagonis (TAMAT)
FantasyKehidupanku biasa saja. Membosankan dan menyebalkan. Entah mengapa ibu-ibu kaum nyinyir melabeliku sebagai orang bermasalah. "Oke, aku kuat." Itulah yang berkali-kali aku tanamkan dalam benak. Kuat. Kesehatanku memburuk akibat kebiasaan hidup tidak...