Apakah sebentar lagi akan terjadi pergumulan?
Barangkali adegan saling tendang, sikut, dan sedikit tampar-menampar?
Gelud, gelud, gelud! Ayo gelud!
Eh setop. Ini bukan saat yang tepat menyaksikan pertandingan tinju bapak-bapak antara Johan Montez melawan Adam Klein. Cukup sinetron saja yang menyajikan acara jambak-menjambak.
“Adam, apa kabar?”
Nada suara Johan, anehnya, terdengar riang. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sinisme maupun ajakan berantem. Hanya ada keramahan dalam senyum, pancaran mata penuh kasih, dan sikap tubuh yang terkesan santai.
Hanya saja sebaik apa pun orang dewasa berusaha berpura-pura di hadapan anak-anak, tetap saja ada yang terlewat oleh mereka. Kebenaran tidak bisa disembunyikan oleh apa pun. Meski ada dusta sekalipun yang amat cerdas, kebenaran akan tetap menemukan jalan ke permukaan.
Itulah yang terjadi.
Adam Klein, tidak seperti Johan Montez, terlihat seolah ingin segera hengkang dari restoran. Kedua mata Adam terlihat merah. Aku tidak yakin dia tengah menangis sepanjang perjalanan menuju ke sini. Namun, bisa saja itu terjadi. “Laura,” ia memanggil. Suara Adam terdengar serak dan berat. Seakan dia baru saja berteriak-teriak dan memerlukan segelas air putih.
Tidak ada pilihan. Mau tidak mau aku harus menurut. Padahal ada beberapa makanan pencuci mulut yang belum sempat aku nikmati. Selamat tinggal, makanan mewah mahal dan belum tentu bisa terbeli olehku. Semoga di masa depan ada orang baik yang bersedia membelikan kalian untukku. Sayonara. Sayonara....
Aku meraih ransel, memasangkan ke bahu. Sebelum bangkit aku menyempatkan diri mengucapkan terima kasih kepada Irene, Johan, dan berkata kepada Alan, “Lain kali. Kita bisa bertemu lain kali selepas sekolah.”
Irene seolah hendak menahanku, tetapi tidak mampu melawan kehendak Adam. Para orang dewasa ini tidak melakukan pertengkaran ala drama. Masuk akal sih. Mana mungkin orang waras mempermalukan diri mereka sendiri di hadapan khalayak? Pasti logika dalam diri mereka bekerja keras memperingatkan dorongan barbar dalam darah.
Adam langsung berjalan cepat meninggalkan restoran. Cukup mudah bagiku mengekor di belakang Adam. Berhubung dia tidak menggunakan kecepatan kilat seperti milik Gundala, mengikuti Adam bukan perkara sukar.
Dalam mobil pun, ketika melakukan perjalanan pulang, hanya ada keheningan di antara kami. Sekarang ada sopir yang bertanggung jawab atas kemudi. Pilihan bijak mengingat kondisi Adam yang terbilang kurang baik. Aku tidak sanggup satu mobil dengan pengemudi yang pikirannya kacau. Hidup panjang. Ada banyak hal patut dikejar olehku. Kesempatan hidup sebagai Laura merupakan salah satu anugerah. Tidak pantas tersia-siakan oleh kebodohan orang lain.
Sekarang aku mulai bisa menjaring beberapa informasi. Adam jelas mengenal pasangan Montez. Kemungkinan besar hubungan mereka memang tidak baik, sesuai dengan penjabaran Tiara. Cinta yang terhalang oleh dendam keluarga? Apa itu yang Tiara coba tuang dalam hubungan antara Sarah dan Alan? Bisa jadi.
Setelah satu menit keheningan suram mirip kuburan yang bahkan aku yakin kuburan jauh lebih ramai daripada di sini, di dalam mobil beraroma sejuk oh untung bukan jeruk, aku pun bersuara, “Om, apa ada yang perlu aku ketahui?”
Beberapa kali Adam menghela napas dan mengembuskannya melalui mulut. Dia seolah hendak lari dari diriku dan sebisa mungkin tidak ingin mendengar pertanyaanku, tebakku. “Rumit, Laura.”
“Tante Irene kenal Mama,” kataku, dingin. “Sepertinya mereka berdua berteman baik.”
Entah perasaan yang berdenyut dalam diriku milik Laura atau sekadar rasa lelah, yang jelas aku tidak sanggup menghadapi ketidaktahuan. Bila aku akan bertempur sebagai Laura, maka lebih baik lekas mengetahui musuh dan rekan dalam perang. Jangan sampai aku salah pilih mengira lawan sebagai kawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Antagonis (TAMAT)
FantasyKehidupanku biasa saja. Membosankan dan menyebalkan. Entah mengapa ibu-ibu kaum nyinyir melabeliku sebagai orang bermasalah. "Oke, aku kuat." Itulah yang berkali-kali aku tanamkan dalam benak. Kuat. Kesehatanku memburuk akibat kebiasaan hidup tidak...