9

14.7K 2.7K 238
                                    

Memang cara pikir Romeo terlalu unik. Sepanjang pelajaran dia sih kelihatan normal; fokus ke penjelasan guru, mengerjakan soal latihan, dan ANEHNYA tidak satu kali pun dia mengamati Sarah. Kan, aneh! ANEH! Dalam novel Romeo jelas memiliki ketertarikan mendekati obsesi terhadap Sarah. Jangan lupakan ikatan konyol antara kebutuhan Romeo diakui Sarah hingga menjurus pada tindakan mematikan.

Akan tetapi, sekarang berbeda. Romeo dengan ketenangan mengagumkan bersedia menjawab soal persamaan dan sepanjang proses pembelajaran dia benar-benar aktif. Berbeda denganku yang cuma numpang nampang doang alias “ya sudahlah guru harap maklumi saja kapasitas otakku ini”.

Lalu, bila biasanya Romeo mengekori Sarah dan dengan setia menungguinya hingga selesai rapat OSIS. Maka, sekarang berbeda. Romeo bahkan tidak peduli bila Sarah berdekatan dengan cowok mana pun.

Sarah pun sama anehnya, terutama setelah aku menolak niat baiknya makan bersama. Di rumah dia jadi lebih responsif bila Marisa hendak memukulku. Dulu dia akan memohon agar Marisa berhenti memukuli Laura tanpa berani melakukan tindakan pencegahan. NOW begitu Marisa hendak menyemprotku dengan omelan sepedas bubuk cabai, maka Sarah akan langsung melesat dan melakukan pencegahan.

Kesimpulan: Sarah dan Romeo aneh.

Akan tetapi, aku tidak terlalu memikirkan perubahan kedua tokoh penting tersebut. Lagi pula, rutinitas mengumpulkan uang jauh lebih penting daripada memikirkan mengenai Sarah dan Romeo. Aku perlu jaminan masa depan. Nah jaminan masa depan itu jelas tidak bisa diberikan Adam kepadaku. Selama Marisa masih suka ikut campur, maka lupakan mengenai hidup damai.

“Punyaku mana?”

Romeo dengan tampang tidak berdosa duduk manis, mengamatiku memasak, dan sama sekali tidak tertarik bergabung dengan Adam di ruang makan. Sudah bukan rahasia bila aku memasak makananku sendiri. Di rumah hanya aku seorang anggota keluarga (itu kalau mereka memang menganggap Laura anggota keluarga Klein) yang memilih masak sendiri.

Tidak masalah. Masak makan malam itu gampang. Namun, beda cerita bila Romeo ikut nimbrung! Dia pikir aku siapa? Koki gratis?

“Kenapa kamu cuma masak satu porsi?” Romeo menyodorkan bahan tambahan dan menuntutku memasak porsi baru. “Aku juga pengin?”

Anak itik yang satu ini benar-benar tidak tahu diri!

“Kamu nggak akan doyan masakanku,” kataku sembari menumis kangkung. “Lebih baik kamu gabung dengan Om Adam.” Sekarang aku meletakkan tumis kangkung ke piring. Setelah mengambil nasi, lekas aku makan tanpa menawari Romeo.

Di luar dugaan, Romeo justru berinisiatif mengambil piring dan mencomot tumis kangkung tanpa izinku. Dia makan dengan ekspresi yang amat aneh. Seperti senang, tapi tidak sampai BUWAHAHAHAH ENAK. Diam. Hanya mata yang menjelaskan segalanya mengenai suasana hati Romeo. Binar kebahagiaan itu tidak mungkin aku salah mengenal. Di mana pun, siapa pun, jenis mata semacam itu sangat mudah dikenal.

“Besok pagi kamu masak buat dua orang,” katanya setelah menandaskan nasi dan kangkung. Sialan! Aku kebagian sedikit! Padahal aku yang masak. AKU! Beraninya dia memakan tumis kangkung sebelum aku menikmati semuanya!

“Ogah,” aku menolak. Lekas aku mengumpulkan piring, termasuk milik Romeo, dan mencucinya. “Kamu sebaiknya ikut Om Adam.”

Romeo, lagi-lagi, mengambil piring dan peralatan masak yang telah aku cuci dan mengeringkannya dengan lap. “Pasti nggak enak makan sendirian.”

“Biasa saja.”

“Kamu pasti pengin ada teman bicara.” Romeo masih belum bersedia mundur. “Segitunya kamu senang menyendiri?”

Aku meraih apel, mencucinya dengan air mengalir, dan langsung duduk di kursi. “Kita sedari dulu memang nggak punya riwayat pertemanan, Romeo. Lagi pula, apa kamu lupa dengan saranku? Jangan gantungkan harapanmu kepada siapa pun, termasuk aku.”

Romeo diam. Ada kesedihan terpancar di kedua matanya yang merah.

“Aku bukan Sarah,” jelasku. “Nggak bisa ngasih jaminan apa pun. Sedari awal dunia kita berdua berbeda jauh. Kamu di langit, aku di bumi. Kamu enak dengan limpahan kemudahan, aku harus saling sikut dengan orang lain. Apa yang pengin kamu cari dariku, Romeo? Cinta?”

“Cinta? Kamu masih kecil mana ngerti cinta.”

“KITA SEPANTARAN, TUAN ROMEO!” teriakku sembari menahan dorongan untuk melempar apel ke keningnya. “Begini, aku pengin bebas dari keluarga Klein. Itu artinya kamu nggak bakal nemuin Laura Klein di masa depan.”

Mendadak tubuh Romeo kaku. Dia berdiri di dekat meja. Diam tak berkutik.

“Tante Marisa jelas nggak mungkin rela aku kuliah,” ujarku, pilu. “Kamu pasti bisa mengira masa depan milikku nantinya. Bukan mahasiswi, nggak ada status sosial tinggi. Hanya Laura yang biasa. Apa kamu nggak malu naksir cewek dengan tanda lahir di pelipis sepertiku? Romeo, apa kamu memang yakin naksir aku?”

Setiap kali aku bertanya mengenai perasaan Romeo, yang jelas milik Sarah, maka dia pasti membisu. Aku tidak tahu alasan kebungkaman Romeo menjelaskan perasaannya kepadaku. Namun, yang lebih penting ialah mencegah Romeo menjadikanku sebagai pelampiasan. Aku tidak bisa menggantikan Sarah dan aku tidak ingin menjadi orang dalam hati Romeo.

“Romeo, kamu punya masa depan. Usai lulus kuliah pasti ayahmu akan menawarimu posisi penting. Jangan lupakan mengenai aset dan tanggung jawab yang akan kamu pikul.”

“Kamu juga sama sepertiku,” Romeo membalas, lirih. “Kita sama-sama punya masa depan.”

“Beda,” aku mengoreksi. “Kamu bakalan jadi pengusaha kaya sementara aku orang biasa.”

“Kamu bilang suka cowok mapan.” Kedua tangan Romeo terkepal. “Kamu bilang bila aku bisa mapan, kaya, dan punya ABS maka kamu bakalan mempertimbangkan hubungan kita.”

“Itu kalau kamu punya ABS dan perusahaan milikmu sendiri.”

Aku bangkit, meletakkan apel ke tangan Romeo.

“Kalau nanti aku punya perusahaan sendiri,” Romeo menantang. “Apa yang bakal kamu lakukan?”

“Ya hidup seperti biasa,” jawabku sembari memukul pelan lengan Romeo. “Ya kali aku nginep di rumahmu.”

Setelah mengangguk, sepertinya Romeo tengah berkontemplasi, dia berkata, “Mapan, kaya, dan ABS. Ingat, kamu nggak boleh menarik ucapanmu.”

“Aku nggak janji apa-apa. Sembarangan!”

“Ingat, Laura. Aku akan berusaha membuktikan bahwa tanpa sokongan keluargaku tiga syaratmu itu akan aku penuhi.”

“...” Dia eror.

“Aku akan mendirikan perusahaan sendiri,” Romeo menyuarakan pikirannya kepadaku. “Terlepas dari Papa dan pengaruh Mama. Kamu akan lihat pencapaianku di media sosial. Saat itu terjadi, kamu nggak boleh lari dariku. Kamu harus menghadapiku dan jangan bersikap seperti pengecut.”

Aku memijat pelipis yang berdenyut-denyut. “Romeo, ada yang salah.”

“Aku nggak tahu yang aku rasain ke kamu itu cinta atau rasa kasihan,” ia menjelaskan. “Namun, ketika aku benar-benar dewasa, maka dengan sendirinya aku bisa mengetahui perasaanku. Saat aku yakin dan paham dengan diriku, kamu nggak boleh lepas tangan begitu saja. Kamu harus bertanggung jawab kepadaku.”

Enak saja! Siapa aku?

“Romeo, mau aspirin?”

“...”

“Soalnya kamu sepertinya butuh sebutir aspirin,” aku menjelaskan. “Siapa tahu sakit.”

Cepatlah dewasa dan mandiri. Sebab aku pasti sudah kabur menuju kota lain. HAHAHAHAHAHAHA.

***
Selesai ditulis pada 21 Juni 2022.

***
Saya senang bisa fokus nulis walau hati kecewa berat. Adel akan tetap ada di Dreame atau Innovel. Bisa dibuka melalui applikasi Playstore maupun Apple. Atau, bila tidak memungkinkan tinggal login melalui web.

Ruby sedang saya cicil. Deborah nunggu buku sampai di tangan dulu. Morgan? Hmmm hehehe baca saja Laura nanti saya kasih kejutan di bab tertentu. HUWAHAHAHAHAHAHA.

Terima kasih, teman-teman. I love you, teman-teman. HUG!

Salam hangat,

G.C

Lady Antagonis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang