38

7.2K 1.3K 56
                                    

“Tentu saja kamu boleh lihat sepuasnya setelah kita resmi menikah,” Aidan menambahkan. Air mukanya terlihat kontras dengan kejenakaan yang coba ia tampilkan di hadapan kami. Terlalu asam, persis lemon. “Jadi, jangan terbujuk rayuan Alan.”

Aku tidak semudah itu tergoda rayuan Alan! Andai aku sedari dulu memiliki minat khusus terhadap si tokoh utama ini, Alan, maka sudah pasti akan aku rayu habis-habisan dengan bermacam cara. Kalau perlu aku pelet sekalian. Namun, tidak. Ada prioritas lain. Pergi dari lingkaran plot ciptaan Tiara masih menjadi yang utama bagiku. Terlepas Romeo maupun Sarah, hidup mandiri dan merdeka jauh lebih penting daripada berpikir merayu Alan maupun Romeo. Tidak semua orang diberkati kemampuan mengubah perasaan orang lain dan aku tidak berani menjamin sanggup bertanggung jawab dengan luapan emosi dari siapa pun yang tidak aku kehendaki keberadaannya.

Berani taruhan, tidak semua orang suka dijadikan pelampung bagi orang lain. Hidup ini tidak seperti cerita Disney yang semua berjalan mulus di akhir cerita. Di mana setiap karakter bersifat baik akan mendapat akhir bahagia sementara tokoh jahat akan terlindas karma. No. Bahkan orang yang bicara mengenai keadilan bagi orang lain dan bersikap sok atas hidup orang pun belum tentu ucapan dan tindakan berjalan selaras. Hidup ini perkara bertahan! Tenggelam atau melawan. Aku jelas tidak ingin dijadikan jaminan kebahagiaan Romeo.

“Aidan, kamu nggak perlu menanggapi candaan Alan,” kataku menyakinkan. Sengaja aku meraih sepotong biskuit berlapis krim teh hijau, menyuapkannya kepada Aidan yang dengan patuh menerima. “Aku akan milih kamu. Selalu kamu.”

“Sebaiknya kalian berhati-hati,” Alan menyarankan. Hilang sudah kesan candaan dalam nada suaranya. Sekarang dia terlihat kaku dan seolah hendak bertarung dengan seseorang. “Lorin muda ini nggak tanggung-tanggung dalam berbisnis. Dia sedikit mengingatkanku kepada Om Morgan dalam hal efisiensi menghabisi lawan. Coba tebak, Laura. Apa yang kamu tahu mengenai seorang model bernama Lily Ray?”

Kerutan muncul di dahiku seiring usaha memeras informasi terkait Lily Ray. “Dia ditolak sejumlah rumah produksi? Nggak jadi bintang iklan?”

Alan menggeleng. “Dia mengalami patah tulang,” jawabnya, tegang. Kedua tangan menyatu seolah hendak berdoa dan tatapan terfokus kepadaku. “Itu belum termasuk mengudaranya rekaman vidio panas antara dirinya dengan sejumlah lelaki termasuk salah satu anggota partai. Aku tidak percaya Aidan bisa sampai sejauh itu dan menurut sumber terdekatku, Lorin memang turun tangan dalam melibas Lily Ray.”

Gigilan dingin menjalar ke seluruh tubuh. Seperti seekor ular yang melata di permukaan kulit. Ular bersisik hitam dengan sepasang taring setajam jarum. Siap menusuk dan menyebarkan racun ke sepenjuru aliran darah.

“Aku sudah pernah hampir berada di ambang maut,” kata Alan, kali ini kepada Aidan. “Kamu nggak bisa menganggap remeh apa pun. Sekarang,” tekannya. “Aku paham bahwa Lorin punya hubungan di masa lalu dengan Laura. Namun, itu bukan jaminan dia nggak akan melakukan tindakan di luar akal sehat manusia.”

“Romeo mungkin sedikit pendendam,” kataku dengan nada suara bergetar. Susah payah mencoba meraih gelas, mencengkeramnya, tapi tidak sanggup mengangkat benda tersebut lantaran serangan gigilan yang tiba-tiba melanda. “Dia kadang menyebalkan, tapi sejauh ini masih bisa aku toleransi.”

Aidan mencoba menggenggam tanganku, mengirim kehangatan guna meredakan hawa dingin yang mulai menyelimuti tubuh. “Nggak akan ada hal buruk terjadi kepada kita,” janjinya kepadaku dengan segaris senyum terlukis di bibir. “Ada aku dan keluarga.”

“Ayolah,” Alan mencoba menyadarkan kebebalan dalam diri kami. “Jangan terlalu percaya diri. Kalian seharusnya memperketat keamanan dan mulai meningkatkan kewaspadaan. Lorin tidak akan berpikir dua kali ketika hendak menghabisi tikus mana pun dan itu berlaku kepada Aidan.”

Kenapa rasanya hidupku berubah menjadi genre horor berdarah?

Bukan ini yang aku inginkan!

“Mungkin aku bisa mencoba bicara dengan Romeo,” usulku kepada mereka berdua. “Bisa saja semua ini, segala kecemasan berlebih milik Alan, sekadar ... terserah apa yang akan kalian pikirkan. Aku tidak ingin dihantui oleh rasa takut. Lebih baik mencoba bicara baik-baik daripada asumsi yang menggiring kita pada hal buruk.”

“Laura....”

“Bagus,” sahut Alan dengan nada mencemooh. “Dan kamu pasti akan terkejut melihat betapa benar saranku. Lorin tidak semudah itu diajak berbicara. Aku sudah pernah mencoba berbicara dengannya perkara pengambilalihan kepemilikan J.A, Jaya Asmara, salah satu penerbit besar milik teman papaku. Namun, apa? Lorin itu menolak mundur dan bersikeras mempertahankan kepemilikan J.A dengan cara kotor.”

Alan meraih gelas kristal berisi minuman berbuih warna keemasan. “Berita ini tidak bisa disebarkan oleh media pemberitaan mana pun,” katanya melanjutkan. Sekali dia meneguk minuman tersebut, lalu meletakkannya kembali ke meja. “Dia paham cara bermain; menyerang dan bertahan. Aku tahu Om Morgan dan Om Jamie bisa melindungi kalian. Namun, mereka pun memiliki keterbatasan. Semua ini atas dasar pengalaman setelah bicara dan bertemu langsung dengan Lorin. Di luar saja dia tenang, tetapi di dalam....”

Ucapan Alan yang menggantung membuatku dilanda perasaan tidak enak. Rasanya seperti ada kecoak yang menyusup ke celana dan mulai bergilya!

“Aku tetap nggak setuju kamu ketemu temanmu itu,” Aidan menyuarakan ketidaksukaannya secara terang-terangan. “Nggak ada jaminan dia benar-benar sehat dan bisa diajak omong santai.”

“Lalu, kita diam saja?”

“Atau pindak ke luar,” Alan menyarankan. “Ada negara yang bisa menjadi destinasi menyenangkan. Tidak seperti di sini.”

“Melarikan diri selamanya padahal kita bisa menyelesaikan masalah dengan jalan damai?” Kali ini aku makin erat menggenggam tangan Aidan. “Lebih baik lekas selesaikan masalah.”

Romeo dalam cerita Tiara benar-benar telah berevolusi menjadi sosok yang bahkan tidak satu kali pun pernah terlintas dalam pikiranku.

Sekarang Romeo seperti binatang buas, bila benar yang diucapkan Alan mengenai dirinya, dan siap menerkam siapa pun.

Tidak mungkin selamanya aku melarikan diri dari sesuatu yang tidak jelas! Tepatnya, aku tidak tahu dengan siapa sekarang aku tengah berhadapan! Siapa? Orang bisa saja menyalahkanku karena tidak mengamini permintaan Romeo. Namun, cinta bukan perkara kebahagiaan satu pihak saja. Pengorbanan dalam cinta bukan sekadar menikah, hidup bersama, dan ... apa? Aku harus diam dan membiarkan Romeo bahagia tanpa memedulikan perasaanku?

Ketegasan itu perlu.

Astaga! Bagaimana bisa Romeo menganggapku dalam artian romantis?

Setelah menghela napas, aku menatap Aidan. “Biar aku yang coba bicara. Bisa saja Alan sekadar kompor karena iri kita akan menikah dan dia harus berjuang mencari pasangannya.”

“Aku nggak gitu,” Alan menggerutu.

Mengabaikan protes Alan, aku pun fokus kepada Aidan. “Barangkali ide ini buruk. Yah lebih baik aku mencoba bicara dan berharap bisa mendapat mufakat. Bisa saja Romeo nggak seperti yang dikabarkan Alan.”

Entah mengapa kali ini pun aku merasa tidak yakin dengan diriku sendiri.

***
Pertama diterbitkan pada 20 Juli 2022.

***
Hari ini ada kucing jantan warna putih nyamperin rumah. Dia jenis campuran. Bulunya pendek, tebal, ada sedikit corak oranye di wajah, dan badannya besar. Padahal dia cuma ngeong bentar depan pintu, tapi Milky langsung teriak MEOOOOOONG WOOOWW MEOOOW gitu. (0_0) Kasihan si putih. Dia kelihatan sedih dan langsung pergi.

Salam hangat,

G.C

Lady Antagonis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang