19

11.9K 2.1K 123
                                    

Kegiatan sekolah menyita sebagian besar waktu. Ulangan, ulangan, dan ulangan. Menguji seberapa jauh materi pelajaran terserap dan membuktikan kemampuan peserta didik dalam sejumlah soal dan praktik. Untung saja sistem pendidikan di dunia Laura berbeda dengan milikku. Di dunia Laura ujian akhir sebatas digunakan sebagai alat ukur kecakapan siswa maupun siswi dalam mendalami materi pembelajaran. Apabila murid ingin masuk ke sekolah tertentu semisal kuliah, maka masih ada ujian masuk. Intinya nilai-nilai ulangan tersebut sekadar digunakan sebagai salah satu upaya daftar sekolah melalui jalur nilai, sementara pintu lain pun masih disediakan oleh penyelenggara pendidikan.

Tidak ada yang namanya tidak naik kelas dalam kamus pendidikan di dunia Laura. Asyik sekali. Hahahaha. Sayangnya bila peserta didik terindikasi tidak memiliki motivasi belajar dalam bidang apa pun, selalu berulah dan menyusahkan guru maupun anak lain, kemudian sulit diarahkan maka sudah pasti peserta didik tersebut akan dilepas oleh pihak sekolah.

Itu pun proses melepaskan peserta didik masih melalui beberapa wacana. Semisal guru konseling akan mengecek lingkungan si siswa bermasalah dan melakukan evaluasi; mencoba menentukan akar permasalahan dan mencari solusi sebelum memutuskan menjatuhkan vonis DO dan semacamnya.

Sungguh berbeda dengan pengalaman sekolahku. Setiap kali murid terlambat, maka sudah pasti dapat poin jelek di buku siswa. Eiy sekalinya guru yang terlambat.... Hmmm paling-paling akan berlindung di balik kalimat: “Wajar saja Bapak/Ibu guru harus menyelesaikan beberapa hal sebelum berangkat mengajar kalian.” Seolah mereka harus mendaki gunung lewati lembah saja. Jarang ada pengajar yang berdedikasi mengorbankan waktu dan emosi serta jiwa demi perkembangan dan kemajuan peserta didik.

Ini, pengajar, yang selalu membuatku iri kepada sekolah lain. Sekolah yang memiliki pengajar baik dan tidak asal tuduh kepada peserta didik. Guru di sekolah anak lain semisal ada siswa yang terlambat pasti bertanya, “Boleh Bapak tahu alasan kamu terlambat?” Kemudian siswa pun akan menjelaskan kondisi dan si pengajar akan menghukum dengan cara wajar. WAJAR. Contoh, mengerjakan beberapa soal kemudian harus diserahkan kepada beliau. Sungguh pengajar impian. Sayangnya beliau bukan guruku!

Sementara pengajar di tempatku selalu mengutamakan emosi. Sedikit-dikit marah, bilang bahwa kami—para murid—tidak menghormati beliau, lalu asal memberikan poin jelek, dan ini belum termasuk pukulan berupa tamparan maupun tempiling. Tidak berkaca kepada diri sendiri. Tidak mau tahu urusan dan beban murid. Selalu seperti itu. Sampai-sampai aku berharap ingin pindah ke sekolah yang gurunya pengertian dan tidak asal pukul. Eh tentu saja itu tidak terjadi. Pindah sekolah? Otomatis aku harus bayar uang gedung dan beli seragam baru. Hmmm prinsip hidup ekonomisku pun meraung.

Aduh maafkanlah diriku ini yang teringat pengalaman buruk. Sekarang aku akan kembali menginformasikan mengenai diriku kepada kalian. Oke?

Sesuai dengan kesepakatan yang kami, aku dan Adam, buat di hadapan makam orangtua Laura. Begitu semester genap berakhir, maka Adam akan mengamini permintaanku meninggalkan Klein.

Momen ini sengaja aku pilih setelah mempertimbangkan beberapa hal.

Satu, Sarah dan Marisa memutuskan liburan di pulau tropis. Tentu saja aku tidak diajak alias Marisa hanya bersedia mengajak Romeo saja. Aku sih enggak marah. Justru liburan tersebut merupakan kesempatan emas yang tidak boleh lolos dari genggaman. Jarang-jarang Marisa melipir jauh dari rumah.

Dua, kepergian Marisa dan yang lain memudahkanku mengepak pakaian. Tidak ada pengganggu. Sama seperti poin pertama.

Ketiga, hehehe kembali ke poin satu dan dua.

Adam sengaja membeli tiket pesawat dengan tujuan Kota Metro. Kami memilih penerbangan awal dengan harapan bisa menghindari macet dan sekalian memberi kesempatan kepada diriku menikmati momen terakhir sebagai seorang Klein.

Lady Antagonis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang